Arti Bahagia yang Sering Kali Terlewat oleh Kita


Blog Sittakarina - Arti Bahagia yang Sering Kali Terlewat oleh KitaBahagia itu sederhana.

Kapan terakhir kali kita tertawa lepas?

Menikmati rintik hujan turun dari balik jendela atau teras?

Menghela napas lega sembari menyeduh teh atau kopi tanpa tergesa-gesa?

Merasakan kehangatan saat didekap erat?

Atau, tersenyum saat mengingat kembali percakapan terakhir dengan orang tersayang?

Semalam, minggu lalu, atau malah entah kapan terakhir kalinya kita merasakan semua itu?

Di era serba sibuk dan serba cepat ini, perguliran hari terasa lebih cepat dari 24 jam. Baru saja menjalani kehebohan di hari Senin, tiba-tiba sekarang sudah hari Kamis. Sudah mejelang weekend lagi.

Rasanya baru kemarin Ayah meninggal karena kanker paru-paru, lalu tiga hari kemudian saya bertemu teman yang datang melayat yang kini menjadi suami. Kini, kita mulai sibuk berdiskusi dengan si sulung Harsya tentang jenis SMP seperti apa yang menjadi preferensinya setelah lulus SD nanti. Waktu benar-benar cepat berlalu!

Sama halnya dengan yang Anggun rasakan.

Drama rencana pernikahan yang berlarut-larut hingga akhirnya gagal, meninggalkan lubang di hatinya. Demi tidak tenggelam dalam kesedihan, ia memilih fokus membantu Puti, sang sahabat yang baru kehilangan kakaknya dalam kecelakaan, untuk menyusun rencana pernikahan dengan high school sweetheart-nya tahun depan.

Siapa sangka, dalam perjalanan tersebut Anggun bertemu sepupu Puti, Dio, yang kini sudah 3 tahun menjadi suaminya.

Anggun menemukan kembali arti bahagia yang sebelumnya sempat hilang.

Baca juga: Identifikasi dan Penuhi Kebutuhan Jiwa Kita

Begitu banyak rencana yang ingin kita capai, serta ambisi yang terus menjadi bahan bakar segala kerja keras selama ini. Satu, dua, tiga target dan kita pun semakin tak ingin berhenti. Hari-hari semakin padat. Waktu pun terasa kian cepat berlalu.

Sialnya, nggak hanya waktu yang tiada habisnya, melainkan keinginan.

Seperti yang Argya alami.

Sebagai anak rantau, ia terbiasa melakukan budgeting—dan jago dalam hal itu. Memulai karier sebagai intern di sebuah bank BUMN hingga akhirnya menjadi branch manager termuda, standar gaya hidup Argya pun ikut menanjak seiring dengan karier dan kehidupannya yang kian sibuk.

Sayangnya, saat terbiasa sibuk, kita jadi makin berjarak dengan hal-hal sederhana yang menghangatkan hati.

Awalnya Argya tidak apa-apa naik “mobil sejuta umat” yang dibelinya seken. Kini, ada hasrat untuk memiliki mobil SUV gagah seperti yang dibawa temannya saat reuni SMA minggu lalu.

Begitu juga dengan Rasti, istri Argya. Weekend yang biasa dihabiskan dengan makan malam di rumah Bapak-Ibu kini dirasa kurang seru. Union pun jadi tongkrongan baru bersama teman-teman segeng—anak-anak juga ikut dan masing-masing sudah dibekali tablet!

Argya dan Rasti terus memanjat dan memasang target yang lebih tinggi lagi. Kebiasaan-kebiasaan simpel seperti mengaji bareng pada Jumat petang dan menemani bocah-bocah naik sepeda mengelilingi kompleks kini tinggal kenangan.

Tak ada yang salah dengan kehidupan baru mereka yang jauh lebih fancy. Namun, baik Argya maupun Rasti kadang tak dapat menyingkirkan rasa rindu yang menyelinap di hati masing-masing; rindu akan masa di saat semua masih sederhana… di saat hidup tidak se-hectic sekarang.

Argya rindu menjadi prioritas dalam kehidupan istrinya yang kini lebih doyan arisan $$$ di resto fancy, sedangkan Rasti tahu ia takkan pernah memiliki waktu seleluasa dulu saat suaminya masih menjadi staf.

Ketika hidup tak lagi di bawah dan harta-jabatan sudah dalam genggaman, arti bahagia bagi seseorang sering kali bergeser.

Seseorang membutuhkan nafkah, harta, dan kekuatan untuk bertahan hidup. Namun, ketika ketiga hal itu menjadi tujuan utama, maka perlahan-lahan hilanglah kebahagiaan hakiki yang selama ini, secara naluriah, melekat dalam dirinya.

Arti bahagia sesungguhnya dapat kita resapi bukan ketika kehidupan kita selalu enak dan menyenangkan. Bahagia  hadir bukannya tanpa keadaan senang dan sedih.

Bahagia hadir ketika kita berkenan menjalani kehidupan dalam suka maupun duka.

Seperti yang Anggun alami. Dua belas tahun setelah menikah, Dio dipanggil Yang Maha Kuasa. Saat serangan jantung itu terjadi, ia sedang berkendara di jalan tol dalam kota.

Menyesalkah Anggun atas apa yang menimpa keluarganya—atas usia pernikahan singkat yang kemudian direnggut maut?

Ia justru bersyukur pernah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghabiskan hidupnya dengan sosok sebaik Dio.

 

*) Feature image: Angi Welsch via Madewell Musings



Leave a Comment

  • (will not be published)


2 Responses

  1. Hihihi aku pun merasa suka kangen sama masa2 ngontrak rumah satu kamar Mbak Sitta. Bukannya enggak mensyukuri pencapaian yang skrng, tapi emang kyknya semakin sedikit tanggung jawab, semakin bahagia kali yak wkwkwk, mungkin pikirannya aja ini🤣😁

    Reply