Siapa sesungguhnya The Black Soul?
Dunia Mara merupakan insert story atau novelet serial Hanafiah sebelum Titanium.
Walau tidak sepanjang buku biasanya, cerita mini ini memiliki peran besar tentang benang merah penyatu keseluruhan kisah keluarga Hanafiah, yakni titik terang tentang siapa saja yang menginginkan Sword’s Tears selain Nara.
Dari seluruh buku yang saya buat dan surel-surel pembaca yang masuk, banyak yang menanyakan versi detail dari cerita tersebut.
Ada juga yang agak bingung dengan lompatan plot antara buku sebelum dan sesudahnya.
Kondisi inilah yang membuat saya menyusun kisah di antaranya, sehingga pembaca mampu membayangkan kejadian demi kejadian dengan lebih jelas, dan yang terpenting, nyata 🙂 ❤
Ingin tahu lebih lanjut tentang Dunia Mara?
Intip penggalan cerita saat Mara pertama kali bertemu Ríg Anders, sosok yang kerap bikin Reno Hanafiah sewot bukan kepalang:
—-
MARA pun melesat bak pelari cepat. Mencengkeram lengan Farrel hingga tak sedikitpun bagian tubuh mungil itu tersentuh mobil. Hanya otopetnya saja yang tetap meluncur dan mengenai bemper.
Si nanny dan Pak Muji kocar-kacir berlari ke situ. Farrel menangis keras; kaget sekaligus kesakitan akibat sergapan cepat Mara.
Tiba-tiba Mara meringis. Saat ia menoleh ke sumber rasa sakitnya, ia menyadari lengan kirinya mengenai tiang listrik dan separuh bagian kuku jari telunjuknya patah.
Seseorang menangkup jemari penuh darah itu dalam handuk kecil kering.
Baca juga: That LUKISAN HUJAN’s Hotel Mulia Scene…
Ketika Mara mengangkat kepalanya, ia melihat laki-laki berambut brunette dengan mata biru yang bening tengah tersenyum dan berkata-kata menenangkannya. You’ll be fine. A broken nail but nothing serious. Take a deep breath, little hero. Semua terucap dengan aksen yang terdengar asing namun seksi. Bukan dari Inggris maupun Amerika.
Cowok yang masih mengatur napas setelah jogging ini masih menekan jari Mara dalam handuk setelah lima menit berlalu. Lalu pegangannya mengendur dan ia mengintip luka itu.
Mara mengikutinya dan hanya bisa meringis. Ia selalu lemas sesaat setelah melihat darah. “Perlu obat? Perlu dioperasi? Jangan bilang kukunya nggak bisa tumbuh lagi.”
Pria Kaukasia ini memandangi Mara heran lalu tersenyum kecil, sedikit malu-malu. “Bisa tumbuh lagi. Saat ini luka perlu dibersihkan dan diberikan salep antibiotik. Kita ke klinik depan.”
“Klinik depan? Kamu tinggal di sekitar sini juga?” Mara tahu yang dimaksud orang ini, yang tak lain adalah Klinik Medika Puri. Letaknya hanya sepuluh meter dari perumahannya.
Sekilas Mara perhatikan gaya asyik orang ini—celana olahraga, kaos merah yang penuh keringat, serta scarf motif tribal biru dongker yang diikat di kepala—dan berpikir apa pekerjaannya hingga bisa berkeliaran di sini pukul lima sore. Biasanya para pekerja di Jakarta baru bisa keluar kantor setelah matahari terbenam, di mana itu membuat Mara tenggelam juga dalam arus kemacetan saat bubaran kuliah sore.
“Tinggal di sekitar sini?” Mara berusaha tidak terdengar penasaran.
“Hanya mengontrak. Ambil cuti panjang dan berlibur ke Jakarta.”
“Jakarta? Why not Bali?” kini Mara benar-benar penasaran.
“Why not?” si bule hanya nyengir, sesuatu yang sepertinya tak biasa singgah pada ekspresi dinginnya.
Pertemuan itu berlalu seperti tiupan angin. Wajahnya juga mungkin akan segera terlupakan.
Ya, pergi dan terlupakan.
Tak menutup kemungkinan ini juga terjadi pada para tetangga yang telah membuat Mara benar-benar merasa di rumah sendiri tatkala mereka pindah dari situ dan menghuni tempat lain. Dua sosok yang baginya takkan jadi selewat saja adalah Ibu dan Arka.
Oh ya, Arka.
Baca juga: Imaji Terindah: Berawal dari Jamuan Makan Malam
Mara baru ingat akhir pekan nanti mereka akan makan malam berdua di restoran yang dress code-nya bukan jeans dan kaos. Bukan MarketDelight, fusion resto kuliner Hongkong-western yang wangi hidangannya tercium dari jarak lima meter, seperti yang selalu mereka jajal selama tiga bulan terakhir ini.
Namanya Cotillard. Tempatnya… distingué, sesuai pendapat Rona dengan logat Perancis yang berlebihan. Untuk bisa makan di sini harus RSVP minimal sebulan sebelumnya.
Bagi Rona dan Mara, Cotillard ibarat rumah kedua. Bagi Arka, resto dengan perpaduan menu Inggris dan Jawa ini merupakan dunia antah-berantah.
Arka mengaku dirinya tidak suka orang-orang hedonis yang menghabiskan uang hanya demi sepiring Goosnargh duck. Ia adalah kelas menengah sejati. Uang hasil usahanya selalu diputar kembali untuk ekspansi, bukan diubah jadi benda-benda mewah demi mendongkrak rasa percaya dirinya jadi selangit. Tanpa semua itu Arka sudah merasa dirinya oke; sebuah rasa percaya diri yang pantas yang Mara suka darinya.
Jadi, ketika tiba-tiba Arka mengajaknya ke Cotillard, lutut Mara spontan lemas. Akhirnya! Akhirnya kini hubungan mereka berkembang jadi lebih serius lagi. Sebentar lagi ia lulus kuliah, mencari kerja, menikah, memiliki beberapa anak (setidaknya dua orang), dan—tunggu!
Tunggu dulu.
Foto via this isn’t happiness
Mara menyadari bahwa rencana sesempurna itu adalah hasil kreasi Ibu. Lantas, apa yang sebenarnya ia inginkan?
Sebuah pertanyaan simpel yang bahkan tak mampu membuat mulut Mara terbuka.
Dan, tunggu dulu… sudah tiga hari berlalu sejak peristiwa heroik dirinya dengan dua perampok, namun Arka belum juga menemuinya? Mereka sempat saling bertukar SMS. Tapi, hanya itu. Tak lebih. Padahal, Mara layak diperlakukan lebih pantas sebagai manusia, dan lebih manis lagi sebagai perempuan, yaitu dengan ditengok. Ditanya kabarnya secara langsung.
Diraihnya ponsel dari side table di kamar tidur yang ia biarkan temaram—kelam—seperti nuansa perasaannya kini. Berulang kali ia telepon si kekasih namun tidak bisa.
Lama-kelamaan rasa percaya diri Mara sirna. Bukan hanya soal absennya Arka selama ini yang ingin Mara bombardir ke cowok ini, tapi juga merembet ke hal seremeh “Sabtu nanti jadi ‘kan ke Cotillard?”.
Menyebalkan! Mara kubur ponselnya di bawah bantal.
Mendadak ia merasa sendirian. Mendadak semua kata-kata Ibu yang menenangkannya tidak terdengar tenang lagi di telinga. Ia ingin kepastian. Dan kala menunggu itu, detik-detik waktu seolah berkonspirasi untuk melambat.
Tapi, masa’ sih… Mara masih ingin bersikukuh. Lalu lintas di kepalanya kian semrawut. Setelah dua tahun bersama Arka, setelah apa yang baru saja menimpanya, ia ingin membuktikan dengan mata-kepala sendiri bahwa Arka akan muncul di Cotillard.
Pasti muncul, tegasnya dalam hati.
—-
Untuk lengkapi koleksi keluarga Hanafiah-mu (sebelum kehabisan lagi!), segera beli Dunia Mara di Tokopedia.
Kisah Hanafiah mana yang jadi favoritmu selama ini? 🙂
*) Feature image via Pinterest
Aku suka banget sama Rig. Dia gentle 💕💕
Cacan – Yeay #TeamRig! ❤
pernah baca ini dan suka dg perkembangan relationship mara dan rig. mereka be2 #relationshipgoals abisss hihihi
aaaah ko aku blm baca yg ini !
Aaaaa Sword’s Tears! Beneran jadi kepo bgt bgt sama kisahnya Nara gara2 sword’s tears ini :”
Favoritku sih tetep kisahnya Diaz-Sisy sama Inez-Niki kakkk. Skrg ini Illa sama Soma udh umur berapa ya? Ehehehe
Dhianti – Hehehe penulisnya nggak itungin 😆😆😆
Duh mupeng bingits baca ini 😍 Gegara baca dunia mara cuma minjem.. sekarang malah pengen punya sendiri deh
Rissa – Yuk, beli! 😀
wahh, pengobat kangen.. Sebenernya baru sempet baca titanium sih kak.. Aku suka semua Hanafiah series, tp dominan sama Diaz Sisy, yg pertama bikin aku hunting Hanafiah series.. Btw, ditunggu banget sama kisahnya nara kak sitta.. Tbh, Nara itu karakter favorit, dan disusul oleh Diaz (♡ε♡ )
Nur – Thanks ya! Bulan Desember ini akan ada serial Hanafiah yang akan rilis kembali, yaitu Imaji Terindah 🙂