Manajemen Keuangan Keluarga Baru yang Nggak Bikin Pusing


Blog Sittakarina - Manajemen Keuangan Keluarga BaruSi kecil lahir, keuangan pun tetap sehat.

Saat pertama kali punya anak, saya nggak menyangka pengeluaran akan sebanyak ini. Begitu banyak kebutuhan dan peralatan bayi yang mesti dibeli dan tersedia—menurut tren dan rekomendasi teman-teman saat itu.

Panik dong saya saat itu, mengingat selama ini cukup santai menyediakan keperluan lahiran Harsya yang bagi saya jumlahnya nggak banyak. Soalnya, saya masih berkiblat ke masa Ibu saat dulu baru melahirkan saya 😂

 

Banyaknya kebutuhan setelah punya anak

Ternyata, perlengkapan bayi jaman sekarang nggak hanya canggih, tapi mahal!

Saat saya dan suami sudah merasa cukup dan PD dengan baby tub plastik yang dulu harganya nggak sampai Rp 100.000 (tahun 2008), seorang teman menyarankan agar saya membeli baby tub yang dilengkapi pencatat suhu agar bayi tidak kepanasan maupun kedinginan saat mandi.

Itu baru baby tub. Belum pompa ASI, mainan bayi (lebih baik yang terbuat dari kayu, karena mainan plastik tidak BPA & phthalate-free), baby bouncer… dan keperluan diaper yang seakan nggak ada habisnya!

Kalau diikuti semua, rasanya gaji nggak akan pernah cukup bagi keluarga baru yang masih terbatas dari segi materi maupun finansial.

Kondisi ini, ditambah pengalaman pertama menjadi ibu yang melelahkan, akhirnya sering kali bikin saya uring-uringan.

Apakah harus punya semua barang-barang tersebut?

Jika tidak, apa dampaknya terhadap bayi—juga saya?

Dan yang paling bikin stres: bagaimana cara ngepas-pasin penghasilan untuk seluruh keperluan tersebut?

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya saya dan suami sepakat untuk menerapkan prinsip dan aturan sederhana agar cashflow keuangan keluarga tidak porak-poranda:

  • Beli barang sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, benar-benar membeli sesuatu yang memang diperlukan dan barang tersebut tidak harus memiliki kualitas terbaik.
  • Tentukan skala prioritasnya. Walau sekilas tampak perlu, kaji ulang apakah ternyata kita (atau si kecil) benar-benar memerlukannya? Apakah ada alternatif lain?
  • Memanfaatkan lungsuran, atau bahkan menyewa. Baby crib bayi dari kakak ipar ternyata masih bisa digunakan. Kemudian, saya memilih menyewa perosotan mini ketika Harsya memasuki usia 2 tahun daripada membelinya.
  • Intinya, berhemat tapi tetap mempertimbangkan segi keamanan. Jadi, nggak asal beli barang yang murah demi tidak mengeluarkan uang banyak. Segi keamanan dan keselamatan tetap nomor satu.

Contoh lain, daripada indoor playground yang biaya masuknya selangit, saya lebih suka mengajak Harsya ke taman dan menciptakan aktivitas seru di sana.

Suatu waktu saya membawa ember kecil dan bola, lalu mengajaknya bermain siapa yang paling cepat memasukkan bola ke dalam ember. Tak hanya Harsya yang aktif lari ke sana-kemari, saya pun jadi ikut berolahraga!

Baca juga: Apa Saja yang Harus Dilakukan Agar Bisa Investasi?

Awalnya, saya dan suami cuma berusaha “bertahan hidup” sampai gajian berikutnya.

Pokoknya, sama sekali nggak kepikiran soal manajemen keuangan yang dikelola secara serius, deh.

Setelah semua lebih terkendali, mulai muncul keinginan untuk merencanakan liburan pertama yang dekat-dekat saja.

Selanjutnya, saat mengobrol dengan kakak ipar yang anaknya sudah duduk di bangku SD, saya tercengang mendengar uang pangkal dan SPP sekolah swasta masa kini yang bisa sampai 30 jutaan. Gila banget sih.. kita sama sekali nggak bisa main-main dalam menerapkan manajemen keuangan!

 

Kuncinya manajemean keuangan keluarga yang efektif

Jika bicara soal manajemen keuangan, yang terlintas di pikiran pasti cara-cara mengatur uang yang rumit dan makan waktu.

Ternyata nggak harus seperti itu, kok.

Secara bertahap, ini langkah-langkah saya lakukan:

1. Buat daftar pengeluaran selama ini

Duduk bareng pasangan dan bicarakan ini secara terbuka, dan tentunya, dari hati ke hati. Bedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Beri urutan dimulai dari no. 1 (yang paling penting) dan nomor terakhir adalah keinginan yang memiliki skala prioritas paling kecil. Bikin proyeksi penghasilan yang ingin didapatkan dalam 1, 2, bahkan 5 tahun ke depan dan diskusikan cara mencapai itu.

2. Anggarkan tiap pos keuangan

Penganggaran atau budgeting merupakan perencanaan terhadap uang yang kita miliki. Pertama-tama, buat pos keuangan sesuai skala kepentingannya. Secara umum, saya membaginya sebagai berikut: belanja bulanan, BBM & transportasi, biaya internet, perlengkapan bayi, social cost, zakat, dan lain sebagainya. Lebih detail tentunya lebih baik. Untuk membantu proses ini, coba pakai aplikasi pengatur keuangan yang nggak bikin “berat” ponsel kita.

3. Sisihkan untuk dana darurat

Dana darurat bukanlah petty cash, atau sejumlah dana yang disisihkan untuk membiayai pengeluaran kecil. Dana darurat jauh lebih besar daripada petty cash (setidaknya setara dengan 6 bulan gaji). Dana tersebut disimpan di dalam rekening terpisah dari rekening harian (bisa berupa tabungan biasa maupun deposito). Jika terjadi kondisi darurat yang membutuhkan uang banyak seperti PHK atau membiayai keluarga terdekat berobat di rumah sakit.

4. Berutang? Hanya KPR dan kredit kendaraan bermotor saja

Saya ketat banget soal ini. Bahkan, saya sama sekali tidak mau berutang saat patungan membeli TV di rumah Ibu yang rusak (saat itu kami masih menumpang di rumah orangtua). Bagi saya, lebih baik potong langsung dari gaji dan hidup irit selama sebulan. Walau begitu, saya bukannya anti terhadap utang. Karena susah bagi keluarga muda untuk bisa memiliki dana ratusan juta dalam sekejap, oleh karena itu tidak apa-apa membeli rumah maupun kendaraan bermotor dengan cara kredit.

5. Investasi saat gajian

Ini salah satu tujuan utama kita dalam menerapkan manajemen keuangan. Kita sudah tahu manfaat melakukan investasi sedini mungkin. Tapi, penerapannya kadang masih sesuka hati saja. Kalau ada sisa uang di rekening, baru deh mulai berinvetasi. Hal seperti ini yang kerap bikin rencana menambah aset kita justru gagal. Padahal, investasi yang berkelanjutan membantu kita mencapai tujuan-tujuan finansial yang selama ini cuma jadi angan (saking susahnya upaya mewujudkan itu). Mulai dari dana pendidikan sampai dana pensiun, pastikan kita langsung berinvestasi begitu gaji masuk rekening.

Hal penting yang mesti dilakukan secara berkala dalam manajemen keuangan keluarga adalah pencatatan dan evaluasi. Selain menggunakan aplikasi, kita juga bisa mencatatnya pada Microsoft Excel. Setelah itu, lakukan evaluasi terhadap perencanaan pos dan tujuan finansial pun perlu dilakukan setidaknya sebulan sekali.

Mudah ‘kan?

Dengan menerapkan pendekatan ini, keuangan keluarga nggak hanya terkendali, tapi juga bisa berkembang dari waktu ke waktu.

 

*) Feature image: Dakota Corbin via Unsplah



Leave a Comment

  • (will not be published)