Kalau kata orang-orang, Puri dan Bowo tinggal nikah!
Kenal dari SMP, “abang-adek” zone yang akhirnya pacaran pas SMA, serta lulus “ujian” LDR ketika Bowo kuliah di Jogja (sedangkan Puri tetap di Jakarta). Apa yang kurang, coba, dari pasangan serasi ini?
Ketika dua-duanya selesai kuliah, Puri yakin Bowo akan melamarnya.
Sayangnya, realita yang menunggu di depan justru berkata lain.
Perlahan tapi pasti, Bowo memberi jarak terhadap Puri dan kehidupannya. Tak ada lagi pesan singkat di layar ponsel yang biasanya sekadar menanyakan,”Gimana kamu hari ini?”. Bahkan, sudah tiga kali weekend tidak mereka lewati bersama walau kini sudah satu kota lagi.
Sebelum menanyakan ini ke Bowo, Puri berusaha introspeksi: apakah ia berbuat salah belakangan ini? Kurang peka terhadap masalah Bowo yang kerap cekcok dengan ayahnya lantaran sang ayah ingin putra sulungnya meneruskan usaha keluarga?
Ah, kayaknya masalah itu tidak separah yang ia kira. Lagipula, Bowo selalu curhat kepadanya.
Sempat terlintas di benak Puri, apa yang terjadi di antara mereka ketika rasa sayang itu hilang?
Jangan sampe! batinnya, menutup rapat-rapat pemikiran tersebut. Nggak mungkin Bowo begitu. Gue yang terlalu parno. Kita baik-baik aja, kok.
Baca juga: Dicari: Family Man
Pada minggu keempat, akhirnya mereka makan malam berdua.
Seperti biasa.
Puri berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan hari-hari Bowo belakangan ini (sekalian mengorek apa yang membuat sang pacar mendadak “ngilang”), sedangkan Bowo tetap bungkam.
Sampai akhirnya cowok ini bergumam,”Semua ini nggak adil buat kamu, Ri.”
Seketika Bowo jadi lebih cerewet darinya. Dengan runtut dan jelas, ia menuturkan bahwa mereka tidak bisa terus—ia tidak bisa terus.
Dan dengan polosnya, Puri hanya bertanya,”Terus ke mana?”
Tentu saja maksud Bowo, ia tidak bisa meneruskan hubungan ini. Terlalu banyak masalah yang dipikul sehingga ia merasa kehilangan dirinya. Ia ingin bisa menyelesaikan satu per satu dan menemukan dirinya kembali.
Dengan cara menghilangkan gue? batin Puri.
Namun, bukannya menangis histeris, Puri malah melemparkan argumen validnya—seperti biasa. “Bukannya selama ini kita berusaha hadapi sama-sama, ya? Kamu bilang, masalah jadi lebih ringan dengan dihadapi bersama.”
Bowo mengangguk dan ia berterima kasih karena Puri selalu setia menemaninya.
Bahkan, di saat dirinya tidak pantas mendapatkan itu.
Ucapan Bowo berikutnya hanya gema yang terdengar sayup-sayup. Banyak hal yang ingin Puri tanya, bahkan mohon.
Tapi… memohon?
Buat apa memohon jika sudah jelas upaya tersebut hanya dilakukan sepihak?
Buat apa mempertahankan cinta yang memudar, bukannya bertambah kuat, saat dikikis masalah?
Ya, masalah.
Menurut Bowo. Masalah—juga waktu yang tidak tepat—yang membuat mereka tidak bisa bersatu.
Baca juga: Ratu Drama Naik Tahta
Belakangan Puri menyadari, angannya dan angan Bowo tak lagi bertaut. Tanda-tanda yang terlihat sudah jelas; hatinya saja yang terus menampik.
Puri pernah membayangkan, ketika rasa sayang itu hilang, maka ia pun pasti ikut menghilang.
Tak mungkin menjalani hari-hari tanpa Bowo yang selalu bersamanya sejak 10 tahun yang lalu.
Sahabat, sekaligus belahan jiwanya.
Saat Puri mengiyakan penempatan kerja di Singapura, beberapa berbisik halus,”Pasti gara-gara nggak mau ngeliat Bowo gandeng cewek barunya”.
Bahkan, ada yang berpendapat,”Kurang jauhlah kaburnya…”
Tapi, siapa bilang Puri kabur?
Puri butuh “gua” untuk menenangkan diri dan, untuk sementara, Jakarta bukan gua yang tepat untuknya.
Hati boleh hancur, tapi perut mesti tetap makan.
Jadi, ia tidak akan melewatkan kesempatan bekerja dengan per diem hampir lima kali lipat dari biasanya.
Walau tertatih-tatih, Puri tidak sepenuhnya berhenti melangkah.
Setelah berhasil menyalurkan amarah dengan rutin berlatih BodyCombat—dan lebih rajin salat—Puri siap kembali ke Jakarta setelah dua tahun berturut-turut meminta bosnya agar ia tetap ditempatkan di Singapura.
Apa yang terjadi ketika rasa sayang itu hilang?
Hatinya terluka.
Tetapi, seperti luka pada umumnya, pada akhirnya ia akan sembuh. ****
Untuk Puri yang pernah ambruk dan kini telah menemukan kebahagiaannya lagi.
*) Feature image: Milada Vigerova via Unsplash.com
“Buat apa memohon jika sudah jelas upaya tersebut hanya dilakukan sepihak? Buat apa mempertahankan cinta yang memudar, bukannya bertambah kuat, saat dikikis masalah?”
bener banget, kak. nggak ada gunanya nahan-nahan yang emang mau pergi 🙂
Kak, persis banget sama kisah aku :'( cuman aku 5 tahun. Hiks ini pun masih berat banget
loh kok pas & persis bgt sih kenapa huhuhuhu😭
Ahhh bikin baperr dan jadi motivasi. :’)
Bikin Baper sii
Banget ya! Pertama kali dengar saja ikut nyesek 🙁
Agrhhh…… baper akutuh >.<
*Sodorin tisu*