Siapa bilang menulis cerita itu susah?
Melihat si sulung Harsya yang kini duduk di bangku kelas 4 merangkai kata untuk proyek WWS (writing workshop) di sekolah dengan khidmat, padahal menulis bukan hobinya, saya semakin yakin bahwa bercerita merupakan salah satu fitrah kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, bercerita dalam rangkaian kata yang jelas, runtut, sekaligus indah merupakan keterampilan yang sebenarnya dapat dipelajari.
Setidaknya itu yang saya perhatikan dari kegiatan bercerita Harsya dan Nara, baik dalam bentuk verbal maupun tulisan, sejak awal mereka masuk SD.
Mengapa menulis cerita itu penting?
Berbeda dengan pendapat zaman dulu yang mengatakan bahwa kemampuan bercerita penting dimiliki hanya bagi mereka yang ingin menjadi penulis, kini skill tersebut menjadi keharusan bagi tiap orang. Apalagi di era internet seperti sekarang dan mendatang.
Semua informasi tersaji secara online, begitu juga dengan cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Dengan tidak adanya ekspresi wajah dan bahasa tubuh seseorang saat menyampaikan sesuatu, akibatnya kekuatan komunikasi tersebut bertumpu pada kemampuan ia berbahasa dan bercerita.
Baca juga: 10 Cara Cepat Menemukan Inspirasi
Alih-alih ingin menyampaikan sesuatu dengan penuh semangat, yang ditangkap lawan bicara di ujung sana malah kita sedang memaksakan kehendak 😅
Online maupun tidak, yang namanya menyampaikan informasi tentu dilakukan dengan bercerita.
Oleh karena itu, dengan tekun menulis cerita, sebenarnya kita tengah mengasah logika berpikir dan berbahasa secara berkesinambungan—dan itu banyak banget manfaatnya. Bukan hanya untuk mereka yang berprofesi sebagai penulis saja.
Oke, secara umum, cerita disusun dengan beberapa tahapan sederhana seperti ini:
Infografik: NOW NOVEL
Berdasarkan infografik di atas, biasanya saya membuat perencanaan menulis dulu sebelum memulai bab 1. Ini dilakukan demi menghindari plot jadi kedodoran di tengah-tengah cerita. Sesuatu yang dulu kerap terjadi saat saya membiarkan proses menulis “mengalir” begitu saja. Tentu saja cara ini bukan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Beberapa penulis justru merasa writing plan membatasi ruang gerak mereka dalam berkreasi.
Nah, bagi yang masih merasa kesulitan menulis cerita dengan pendekatan di atas, saya pun mewawancarai Harsya (setelah ia selesai merampungkan beberapa paragraf proyeknya) tentang bagaimana cara menulis cerita seperti yang selama ini diajarkan di sekolah.
Berikut beberapa tips tokcer yang berhasil Harsya terapkan dalam proses kreatifnya:
1. “Bikin mind map dulu.”
Mind map yang Harsya buat di kertas biasanya terdiri dari informasi penting seputar cerita, yakni: siapa tokoh utamanya? Siapa saja tokoh pendukungnya? Bagaimana karakter para tokoh tersebut? Apa tema dasar cerita? Di mana dan kapan cerita terjadi? Informasi ini menjadi rujukan Harsya saat ia menyusun ceritanya dari nol sampai selesai.
2. “Bagi ceritanya ke bentuk awal – tengah – akhir.”
Mengurai plot cerita menjadi tiga bagian seperti ini membuat Harsya (juga teman-temannya di sekolah) lebih mudah menentukan rangkaian kejadian yang pas sebagai pembuka cerita, awal munculnya konflik, terjadinya klimaks, sampai bagaimana cerita pada akhirnya ditutup.
3. “Tulis kalimatnya yang pendek-pendek aja.”
Seperti kebanyakan cergam dan novel yang pernah Harsya baca, menyusun cerita dalam kalimat-kalimat pendek yang jelas lebih mudah bagi penulis dalam menyampaikan inti dan maksud cerita tersebut. Dari sisi pembaca, terutama pembaca usia muda, ternyata ini juga bikin mereka lebih cepat memahami jalannya cerita.
Baca juga: 6 Font Keren dan Gratis untuk Naskah Ceritamu
4. “Perhatikan huruf kapital, tanda bacanya juga.”
Sambil terkekeh, Harsya mengakui bahwa penggunanaan huruf kapital dan tanda baca secara tepat nyatanya penting demi menjaga kelogisan cerita. Ia memberi contoh 2 kalimat berikut; kalimat pertama menggunakan tanda koma, sedangkan kalimat kedua tidak:
Kilo si burung kasuari tinggal di hutan berbeda dengan Momo si monyet di gunung.
Kilo si burung kasuari tinggal di hutan, berbeda dengan Momo si monyet di gunung.
5. “Pas adegannya ganti, ganti paragraf juga.”
Ini bagian yang menurut Harsya paling tricky. Ia masih agak bingung, kapan sebaiknya ganti paragraf saat menulis cerita. Satu hal yang ia ingat baik-baik adalah gantilah paragraf saat adegan atau kejadian sudah berganti. Tambahan lagi dari saya: ganti paragraf saat tokoh berbeda yang berbicara ya, Nak 😉
Nah, dengan kiat-kiat di atas, ternyata proses menulis cerita tak sesulit yang dibayangkan, bukan?
Sebagai latihan, tidak perlu buat target terlalu tinggi. Coba mulai dengan menyusun cerita pendek sebanyak 500 kata dan tambah lagi jumlah katanya seiring dengan makin seringnya bercerita.
Menurut kalian, apakah tips menulis cerita dari Harsya ini cukup mudah untuk diterapkan?
*) Feature image via Rising Tide
Dari dulu, mimpi yang masih sebatas ilusi, ya ini…. 🙁