Lampu pentas hanya tertuju pada Tari.
Ramari Gym & Studio hampir tidak berdiri tegak jika Tari (27) tidak cukup bernyali.
Tahun lalu, Rama (29) suaminya yang baru pensiun dari profesinya sebagai atlet sepak bola mengalami kecelakaan lalu-lintas. Patah tulang belakang area C7-8 dan sempat memakai kursi roda elektrik selama enam bulan.
Dalam enam bulan pula, tubuh “kering” Rama berubah jadi gemuk karena hidupnya sedenter. Pasif di atas kursi roda.
Tari berhenti di pintu, memperhatikan suaminya sibuk di depan laptop dengan beberapa kertas nota tercecer di meja.
Sebuah senyum perlahan menghiasi wajahnya yang bermandikan keringat.
Kini kursi roda tersebut sudah tidak ada. Sebagai pengganti, tampak tongkat siku tersandar pada meja tempat Rama biasa mengurus administrasi pusat kebugaran yang dikelolanya bareng istri.
“Aku tahu kamu lagi mikir apa,” ucap Rama tanpa menoleh.
“Read my mind, please?” Tari tersenyum.
“Kamu nggak nyangka Ramari bakal sebesar ini,” tebak Rama.
“Hampir benar! Aku nggak nyangka kita mampu melewati semua ini—dan menjadikan Ramari sebesar ini hanya dalam setahun. Ini semua karena kamu nyemangatin aku, Ram.”
“Nggak, sayang. Karena kamu—justru karena kamu, aku masih hidup.”
Tari terdiam. Di depannya, tak ada lagi sosok tambun Rama yang hampir tak dikenalnya.
Menyadari dirinya tak lagi seaktif dulu, Rama yang kangen melakukan bench press—dan tidak bisa melakukan itu saat lumpuh—mengubah habis-habisan pola makannya. Hanya buah, sayur, telur, dan daging panggang yang kini jadi santapannya.
Dalam waktu singkat, berat badan Rama susut dan bentuk tubuhnya kembali seperti saat ia masih aktif di lapangan.
Tapi, tetap saja Tari merasa terganggu.
Orang menganggap keberhasilan Ramari Gym & Studio miliknya seorang.
Rama Hardiman? Nama besar mantan pemain sepak bola tangguh itu—suaminya—tinggal kenangan.
Baca juga: Apa yang Terjadi Ketika Rasa Sayang Itu Hilang?
Seperti yang terjadi tadi siang, saat Tari baru mengajar kelas PoundFit.
Ketika pintu ruangan ditutup, tak sengaja ia melihat suaminya yang bersiap membersihkan ruangan berpapasan dengan dua murid perempuan yang baru mengikuti kelasnya.
“Hei, OB… ngepelnya nanti aja. Kita baru mau lewat. Nanti bisa kepleset, lho!”
“Hush, Ra! Galak amat. Kasihan pak OB-nya ‘kan cacat…”
“Baik ya Mbak Tari mau mempekerjakan orang kayak gitu. Kemampuannya pasti terbatas dan malah jadi beban buat studio kayak begini.”
“Kalau gue jadi Mbak Tari sih nggak bakal khawatir… cantik, terkenal, dan punya banyak klien high profile. Nggak heran Ramari Studio eksis abis!”
“Iya juga, sih. Kayak apa ya cowoknya Mbak Tari?”
“Bukannya masih single ya?”
Kedua perempuan yang diketahuinya belum genap berusia dua puluh itu sama-sama mengangkat bahu, lalu berlalu sambil cekikikan.
OB?
Rama disangka office boy?
Hanya karena saat itu kaosnya tampak lusuh, ditambah dirinya mengenakan topi?
Tidakkah mereka tahu ini tak lain Rama Hardiman?
Si gelandang keren yang selalu jadi incaran wartawan juga penggemar saat konferensi pers berlangsung!
Darah Tari spontan mendidih melihat suaminya dilecehkan seperti itu. Namun, ia yang terlalu kaget hanya bisa mematung dan malah bersembunyi di balik pintu. Setengah mati mengatur napasnya yang masih menderu.
“Kamu sama sekali nggak kayak office boy…”
Kontan mata Rama berkedip-kedip, tak mengerti mengapa istrinya tiba-tiba berkata sambil cemberut.
“Oh, itu…” anehnya, Rama tak terlihat sakit hati maupun marah.
“Kenny dan Laras—anak-anak ingusan tadi bicaranya sembarangan banget!” Tari menyeruput jus buah dan sayur favoritnya pasca workout, lalu berdiri di sisi suaminya.
Tangan Rama melingkar di pinggangnya. “Don’t sweat it, hon.”
“Ramari ‘kan hasil kerja keras kita berdua, Ram. Tapi, kenapa sih, orang pada nggak nganggep kamu? Di luar sana, mereka hanya menyebut namaku melulu. Padahal, ide membuat gym sekaligus studio ini murni dari kamu. Ramari. Rama dan Tari.”
“Kurang cheesy apa nama gym kita?” Rama nyengir, tangannya meraih apel di sisi laptop.
Tari merangkul suaminya erat-erat, membenamkan wajahnya di dada pria yang kembali giat berenang, salah satu aktivitas fisioterapi favoritnya. “Aku nggak apa-apa, Tar.”
“Kamu kok bisa cuek banget sih sama pendapat orang?”
Rama terdengar menghela napas. “Bisa gila kalau semua celoteh orang dimasukin ke hati,” tuturnya kalem.
“Daripada pusing melihat ke luar melulu, aku ingin lebih fokus ke dalam. Refleksi diri. Menelusuri hati—berpegangan pada sesuatu yang memang penting, juga berharga.”
Tari meresapi tiap kata yang mengalir dari mulut Rama.
“Kamu harus kuat,” kata Rama lagi seraya menyentuh pelan pipi istrinya. “Seperti kamu kuat mendampingi aku dalam keadaan seperti ini. Kalau kita percaya diri, apa pun penilaian orang takkan terasa mendikte hati, apalagi sampai melukai.”
Rama mungkin masih akan memakai tongkat dalam waktu yang cukup lama. Tetapi, Tari yakin, sosok ini lebih dari sekadar kuat untuk menopang dirinya yang masih mudah down kala menghadapi rintangan.
Bukan Rama yang masih hidup karena dirinya; Tari justru merasa sebaliknya! ****
—
Lengkapi kisah-kisah karya Sitta Karina lainnya di sini.
*) Feature image: @uonewyork
Sesederhana, aku ada karena kau ada
Itulah cinta.
Baru selesai Baca Magical Sierra buku 1 nih mba semalam. Dr 4 bukunya… Penasaran antara Seth atau Abel…
Terus berkarya Yaa…
Kereeeeenn bangeeeedd
Let me know what you think of Magical Seira series, okay? 🙂
Bagusss!!! Aku sukak ceritanya ❤️
Yeaaay! Senang mendengarnya 🙂