Cuplikan Bab 1 Novel “Putri Hujan & Kesatria Malam”


blog sitta karina - cuplikan bab 1 putri hujan & kesatria malam novel phkmIntip intro seru #novelPHKM.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!

Bagi kalian yang penasaran dengan kelanjutan hubungan Diaz Hanafiah dan Sisy Iswandaryo setelah Lukisan Hujan, sekarang waktunya mengintip permulaan dari babak kedua kisah mereka di Putri Hujan & Kesatria Malam!

Tak hanya Diaz, sosok-sosok Hanafiah lain tentu muncul di buku ini. Mereka ikut mewarnai perguliran drama—dan tragedi!—yang masih terus berlangsung 😀

Adakah perbedaan antara #novelPHKM edisi revisi dan edisi sebelumnya?

Tentu ada!

Pada Putri Hujan & Kesatria Malam edisi revisi memiliki plot yang lebih mendetail, termasuk adegan, percakapan, dan karakteristik para tokoh yang membuat nuansa cerita lebih mendalam dan, tentunya, lebih OK untuk diimajinasikan.

Setelah membaca sinopsisnya, kini selamat menikmati bab pertama buku ke-4 serial Keluarga Hanafiah, ya!

 

Bab 1

 

 

 

 

“JANGAN ke Amerika, Si.”

“Yaz…”

“Tetap di sini saja.”

Suara Diaz Hanafiah—sedikit parau namun tetap terkesan keras kepala—menggema di telinga Sisy.

“Aku sudah minta maaf.”

“Diaz…”

“Aku sudah menyadari semua kesalahan yang terjadi—aku bersedia melakukan apa pun untuk memperbaiki semua itu.”

Sisy mengangguk-angguk di tengah temaramnya lampu sekitar gazebo. Tempat favorit mereka berdua.

Ia ingat momen ini. Dansa waltz terakhirnya bersama Diaz sebelum bertolak ke San Francisco, Amerika.

“Tapi, kamu berbohong.”

Terkejut dengan nada pedas itu, Sisy pun mengangkat wajah. Tidak mengantisipasi kelanjutan adegan di depannya.

“Perpisahan ini memang rencanamu. Keinginanmu. Dan kamu ingin kita terus seperti itu: berpisah.

“Kamu pembohong, Si.”

Kening gadis ini spontan berkerut. Ucapan Diaz tak pelak sedingin ekspresinya.

“Nggak, Yaz!” pekik Sisy setengah berteriak. Yang lebih menganggu lagi, Diaz tampak begitu tenang saat melisankan itu.

“Pembohong.”

Setelah itu, Diaz berbalik dan melangkah.

“B-Bukan! Aku bukan pembohong.” Sisy mengangkat kaki, berusaha berlari ke arahnya, namun malah menubruk dinding kaca.

Bukan seperti ini akhir yang ia alami, yang ia ingat dulu. Dansa waltz terakhir mereka begitu syahdu, penuh cinta, dan menenangkan jiwa.

Terengah-engah, Sisy terbangun dari tidurnya. Setengah bersyukur mendapati rangkaian kejadian yang terasa nyata itu tak lain mimpi belaka.

Dulu, mereka berpisah dengan kesadaran dan kerelaan hati.

Seperti itu ‘kan?

Atau malah tidak?

San Francisco

“Mimpi yang sama lagi?”

Sisy Iswandaryo, gadis 19 tahun yang baru saja memangkas rambutnya jadi seleher, mengangguk pelan saat Kayo Kilpatrick bertanya. Jemarinya sibuk memutar-mutar cangkir latte namun tatapannya kosong, membuat sahabatnya yang peranakan Amerika-Jepang ini sedikit khawatir.

“Kamu memikirkan dia.”

“Nggak, Kayo!” Sisy langsung defensif, terbangun dari lamunan singkatnya.

“Tumben,” Kayo terlihat penasaran,”setelah tiga tahun kamu tinggal di SF.”

“Kebetulan.”

“A new, happy beginning… perhaps?”

Sisy memutar kedua matanya. “Just like in the movies? Come on, we’re not kids anymore.

“Pasti ini penyebabnya,” gadis sebaya Sisy dengan rambut pixie yang mulai memanjang ini menyodorkan tajuk berita harian San Francisco Chronicle tentang proyek WorldEye yang akan dilaksanakan di SF dan merupakan hasil keroyokan dua perusahaan kelas dunia, SmithsonCorp dan Hanafiah Group.

“Berapa kali harus kukatakan, aku sudah nggak ada hubungan lagi sama Diaz Hanafiah.” Sisy mendorong ke depan surat kabar tersebut.

“Katakan itu pada hatimu.”

blog sitta karina - cuplikan bab 1 putri hujan & kesatria malam novel phkmFoto: sfstation.com

“Kayo…” Sisy enggan meneruskan topik ini.

“Sudah seminggu belakangan berita tentang Hanafiah Group santer dibicarakan dan kamu jadi kehilangan fokus,” Kayo terlihat agak cemas.

“Maka itu, aku layak tidak berada di tim cheerleader lagi.”

“Jatuhnya Jessica Hart saat membentuk piramida bukan salahmu, Si.”

“Seandainya aku fokus dan lebih cepat bergerak, Jess tidak akan langsung menghantam tanah—”

“Lalu, kalian berdua sama-sama patah tulang.” Nada Kayo lebih tegas, sekilas terdengar marah. “Berhenti menjadi perisai orang lain.”

Setelah itu, Kayo meraih semua map di meja dan berlalu, meninggalkan sobatnya yang masih termangu di beranda kafe yang tampak lengang di sore hari.

Baca juga: Bukan di New York – sebuah cerpen

Sisy menghabiskan sisa Chicken Avocado Pita Sandwich lalu menyusuri pelataran terbuka Union Square. Ia membeli buku puisi incarannya di Borders sambil kembali mengingat-ingat isi berita yang terasa begitu mengganggu itu. Hanafiah Group akan memulai proyek barunya di San Francisco, kota tempat tinggalnya sekarang. Kemungkinan besar, para Hanafiah juga akan ke sini—beberapa yang bahkan dikenalnya cukup dekat.

Walau ingatan Sisy akan masa-masa di kompleks Bintaro Lakeside terasa samar, tetapi tidak begitu dengan rasa gelisah yang menggelayut di hati. Bagaimana tidak, SmithsonCorp Tower terletak di jantung Financial District, tak jauh dari Union Square yang kerap dilewatinya.

Kamu pembohong, Si.

Sisy menggigit bibir bawahnya ketika ucapan Diaz dalam mimpinya kembali teringat.

Tiga kali musim panas ia lewati tanpa keceriaan khas Bintaro Lakeside, tanpa sikap galak sekaligus protektif Diaz Hanafiah yang dulu membuat hidup—juga hatinya—jungkir balik. Tiba-tiba, kini sosok tersebut berulang kali singgah di alam mimpinya.

“Kebetulan yang menyebalkan,” gerutu Sisy.

“Semoga bukan aku.”

Seuntai suara rendah menyapu lamunannya.

Sisy yang sejak tadi berjalan dengan pandangan ke bawah, memperhatikan sekelompok burung dara yang tengah memunguti remah makanan, impuls mendongakkan wajah.

Awalnya, Sisy tidak menganggap ucapan yang berasal dari arah depan. Union Square yang kian ramai menjelang petang merupakan lintas kota yang paling “hidup” di SF. Banyak orang hilir mudik di situ, kadang saling bertegur sapa seadanya walau tak kenal.

Sosok tegap berambut pirang gelap—sekilas mirip Hayden Christensen—mematung, menunggu reaksinya. Bayangan pohon palem yang tumbuh teratur di sekeliling Union Square sedikit menutupi figurnya, terutama bagian wajah.

“Hello, Adrianna.”Suara itu… Sisy memicingkan mata, berusaha mengenalinya, namun gagal. “Do I know you?” bisiknya.

Lelaki ini menebar pandangannya, seakan tak menghiraukan suara penasaran Sisy. “Union Square terlihat berbeda dari yang terakhir kukunjungi.”

Sebelah alis Sisy terangkat. Tentu saja ini karena Union Squre telah mengalami renovasi ulang pada akhir tahun ’90-an dengan desain mengacu pada piazza khas Italia yang lebih lapang dan terbuka. Namun begitu, makin ke sini Union Square makin merepresentasikan kalangan berpunya di SF; lapangan terbukanya dikelilingi butik berkelas macam Saks Fifth Avenue dan Chanel. Tak ketinggalan hotel mewah seperti Westin St. Francis yang menjadi langganan pesohor Holywood.

Tetapi, ia memilih tidak melisankan itu.

Tidak dengan orang yang mendadak berdiri di depannya, seperti mengetahui ia akan melintasi distrik ini.

Masih membisu, Sisy pun melihat seulas senyuman perlahan tersungging di wajah orang asing tersebut.

You really shouldn’t forget a man who teach you waltz for the first time.” Dengan luwes, pemuda ini meraih punggung tangan Sisy dan mengecupnya.

First… waltz? Naluri Sisy mengatakan orang asing ini sesungguhnya tidak seasing yang dikira.

Sesaat, Sisy terkesima. Jika ada orang tak dikenal memperlakukannya sedekat ini, ia langsung menarik diri. Namun sekarang ia malah terus memandanginya, teringat kemiripan sosok pria di depan dengan sebagian lelaki klan Hanafiah yang pernah dijumpainya: tinggi, langsing, dan kharismatik.

“Kuharap kau belum lupa momen indah kita di Wina dulu. Austria kini semakin padat.”

Wina… Austria? Mungkinkah—?

Menyadari sesuatu, Sisy pun terperangah. “Finist?”

blog sitta karina - kisah romantis diaz dan sisy putri hujan & kesatria malamCover buku “Putri Hujan & Kesatria Malam”

“It took you awhile, Adrianna.” Finist von Suttonheim tertawa kecil seraya menarik Sisy ke sebuah pelukan hangat.

Karena masih termangu, Sisy pun kehilangan keseimbangan dan malah menabrak dada Finist. Semua berlangsung begitu cepat sampai-sampai pikirannya kesulitan memproses tiap bulir momen yang terjadi.

Kesadarannya pun kembali tiga detik kemudian. “Yeah, it did.” Jemari Sisy terjulur ke depan, menyentuh helai rambut di dekat telinga cowok ini. “Dulu rambutmu lebih panjang dari ini.”

Sentuhan itu membuat Finist terpaku, tidak menyadari ia ternyata serindu ini.

Baca juga: Contoh Novel Singkat? Baca Imaji Terindah dan Cerita Lain

Finist mendeham, berusaha mengendalikan kerikuhannya. “Kamu tadi nggak mengenali aku, tetapi masih ingat rambutku?”

Sisy memperhatikan figur bermata kebiruan dengan jaket panjang coklat di depannya lekat-lekat. “Hmm, kamu tampak lebih tegap, lebih tinggi—hei, kamu sengaja memancingku, ya?”

Finist tergelak manis. “Senang sekali berjumpa denganmu di sini, meine prinzessin.

Meine prinzessin. Putriku.

Sisy agak terkejut mendengar panggilan itu. Beberapa tahun silam di Austria, Finist pernah mengatakan bahwa ia adalah putrinya di depan gerombolan pelajar internasional lain. Tentu saja ia tidak menganggap serius deklarasi heboh di atas meja kantin tersebut. Di matanya, Finist memang doyan cari sensasi.

“Wow, aku masih nggak percaya kamu ada di sini. Liburan ‘kan?”

Finist menggeleng.

“Wina masih sesibuk itu? Konser, orkestra, musim dingin yang cantik, serta opera Hänsel und Gretel yang selalu memukau…”

“…dan tidak kalah seru dengan kancah politiknya. Wina bahkan lebih ramai. Semakin metropolis. Arus bertemunya para komuter dari belahan Eropa tengah dan Eropa Timur.”

“Kangen dengan taman cantik di Istana Hofburg[1].”

“Volksgarten.” Finist menyebutkan taman yang dimaksud. Ia tak menyangka hal seremeh itu masih tersimpan di otaknya yang disesaki berbagai agenda bisnis. “Tempat di mana kita sering berdansa waltz ketika salju turun. Kapan-kapan kita ke sana lagi. Kamu dan aku.”

“Ingin sekali.” Sisy keheranan, mendadak dirinya jadi sentimental, kangen Austria seakan-akan itu kampung halamannya.

Pemuda Austria yang lebih tua lima tahun darinya ini tersenyum senang. “Kapan pun kau siap, Adrianna.”

Sisy terkesiap. Sudah lama ia tidak mendengar nama depannya diucapkan senatural itu. Tatapan Finist seolah-olah merefleksikan dirinya serius. Hampir saja ia memercayai semua ini.

Lalu, sosok lain muncul dalam kepala Sisy.

Diaz.

Finist dan Diaz.

Si ceria dan si temperamental.

Jika Jakarta—Bintaro Lakeside, tepatnya—membelenggu Sisy dalam kenangan yang hangat dan bergelora, maka momen di Wina menyelimutinya sesyahdu musim dingin di situ.

Darn this meeting, Finist serta-merta melepas napas. Sikap malu-malu Sisy begitu menggemaskan, membuatnya ingin kabur dari aktivitas berikutnya, yakni makan siang sambil rapat bersama kakaknya, Heinrich von Suttonheim.

Sepanjang hidup, Finist telah menjadi adik yang cepat tanggap dan berprestasi demi memenuhi kualifikasi yang diinginkan sang kakak. Apa yang Heinrich minta, secepat kilat ia lakukan. Takut Heinrich tidak puas dan merampas predikat von Suttonheim dari pundaknya.

Jadi, Finist sejujurnya gelisah dengan kenekatannya saat ini. Mangkir dari rapat bisa-bisa tak sekadar berakibat buruk terhadap proyek, namun kehidupannya.

Apalagi, jika itu dilakukan dengan alasan yang tak pernah bisa Heinrich terima: perempuan.

“Lihatlah dirimu sekarang, Finist,” Sisy menatapnya kagum, membuat lelaki ini merasa superior.

“Go on.”

“You’re alright,” Sisy memutuskan untuk tidak menyanjungnya terlalu tinggi. “Oh well, I almost forgot, you are the von Suttonheim. One of the most prominent families in Vienna.”

blog sitta karina - cuplikan bab 1 putri hujan & kesatria malam novel phkmFoto: agoda.com

Finist tertawa renyah. Perempuan doyan memujinya, namun hanya Sisy yang melakukan itu tanpa mengharapkan berlian. Finist mengagumi ketulusannya, walau ia tidak melihat materialistis sebuah sikap yang buruk.

Sisy menggosok-gosok kedua tangannya demi menciptakan sedikit kehangatan.

Baca juga: Sudah Download Silsilah Keluarga Hanafiah Terbaru?

Finist pun langsung menarik tangan mungil itu ke dalam saku mantel panjangnya. Jadi, melihat usiamu sekarang, seharusnya kau di sini untuk kuliah.”

“Y-Ya. Sekolah bisnis.” Sisy terkejut. Jemarinya tersembunyi, bertaut dengan milik Finist. Dulu ia merasa nyaman akan kebiasaan yang sama.

Ditatapinya Finist dengan manik mata mencari secuil jawaban atas gestur superakrab yang tiada habisnya itu: apa yang kau inginkan, Finist?

“Kukira kau suka memasak. Sekarang malah mau jadi pebisnis?”

“Mungkin. Sejujurnya dulu aku nggak tahu mau ambil major apa. Ambil engineering—terutama Teknik Industri—kayaknya susah banget, walau pernah belajar Fisika mati-matian saat SMA di Indonesia,” Sisy berhenti, tak bisa menghentikan momen saat Diaz menjadi mentornya yang tiba-tiba membanjiri pikiran,”dan ya, aku masih suka memasak.”

“Jadi, ekonomi dan memasak, ya?”

Sisy mengangguk seraya menarik tangan itu keluar dari saku mantel Finist, merasa tak seharusnya nyaman melakukan ini dengan seseorang yang sama sekali bukan siapa-siapanya.

“Kamu seharusnya magang di perusahaanku.”

Kedua mata Sisy spontan melotot. “Kamu sudah punya perusahaan sendiri di usia semuda ini?”

“Perusahaan yang dirintis keluarga, tepatnya. Maier Group,” Finist tergelak,”Keluargaku memiliki saham terbesar di perusahaan ini dan sekarang aku pun ikut ambil bagian, dengan syarat mulai magang sejak SMA. Syarat dari Heinrich, tepatnya. Kau tahu seperti apa dia ‘kan—kau masih ingat Heinrich kakakku?”

Sosok dingin yang kerap bikin Finist kesal dengan segala aturan ketatnya seolah-olah ia bos besar—ya, Sisy ingat orang itu di Wina, walau tak pernah berbicara langsung dengannya.

“Jadi, inilah aku. Terbang ke SF dan akhirnya bisa bertemu denganmu.”

Beberapa helai daun maple terbang melewati figur Sisy dan Finist seiring dengan angin utara dari San Francisco Bay bertiup kencang ketika memasuki musim gugur.

“Tears for Water. Kukira Alicia Keys seorang penyanyi? Finist mengambil buku yang sejak tadi didekap Sisy.

“Banyak yang bilang puisi-puisinya di sini seindah lirik lagunya.”

Finist membalik-balikkan halaman buku secara acak. Kedua alisnya serta-merta menekuk. “Sometimes I feel like I don’t belong anywhere. And it’s going to take so long for me to get somewhere…”

Lalu, Finist berhenti melafalkan. Tatapannya lurus menembus bola mata Sisy, seakan tengah mencari jawaban di situ. “Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?” ia bertanya lembut.

“Aku? Oh, nggak.” Sisy tertawa rikuh. “Aku hanya suka baca jurnal seperti ini. Obviously, Alicia Keys’ piece of works consist of—“

“Lost love, hurt love?” Finist menyediakan jawaban yang urung Sisy ucapkan.

Sisy langsung terdiam. Malu karena Finist dapat langsung menangkap intisari buku sekaligus maksud hatinya.

“Kamu tahu restoran Jerman yang enak di sini?”

“Aku tahu!” perempuan ini bersyukur obrolan tentang puisi Alicia Keys tidak dilanjutkan.

Langsung saja diambilnya ponsel, bermaksud mengetik Café De Tinnen, namun malah mengarah ke situs detik.com dan mendapati tajuk berita berhuruf besar:

5 Fakta Diaz Hanafiah, Tunangan Bintang Film Senja Sang Cemara yang Bukan dari Dunia Showbiz

“Apa namanya?”

Tak ada jawaban.

“Adrianna?”

Sisy masih mematung dengan tatapan lurus ke layar ponsel.

Tatkala Finist ingin melihat apa gerangan yang ada di situ, Sisy mengantongi ponselnya kembali. “Café De Tinnen. Wiener Schnitzel mereka terenak se-SF.”

“Bagaimana dengan kopi? I prefere a decent cup of americano.” Finist senang melihat bagaimana rileksnya gadis ini saat berbincang dengannya. “Temani aku ngopi, yuk.”

“Sekarang?”

“Aku sudah cabut dari rapat demi bersamamu. So yes, take me there, please?” Finist sudah menarik tangannya tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut.

“Tidak jauh dari sini…” Sisy tidak menolak, namun tidak juga mengiyakan. Ia masih harus mengerjakan tugas Ekonomi Mikro walau saat ini otaknya tak mampu merumuskan hubungan antara perilaku konsumen, tingkat pendapatan, dan harga barang yang hendak dibelinya.

Sejak kapan Diaz bertunangan? Hatinya terus bertanya-tanya. Bayangan gelap dari sinar mentari sore yang mulai luruh menyembunyikan raut khawatirnya.

“Pacarmu nggak marah kalau kau kuculik begini?”

Sisy tahu apa maksud Finist. Tetapi, kali ini ia sama sekali tidak keberatan. “Aku single. Jadi, nggak ada yang marah, kok.”

Baca juga: Corsage – Sebuah Cerpen dari Serial Keluarga Hanafiah

Finist tersenyum puas mendapati jawaban sesuai ekspektasinya itu. “Meskipun ada, aku tetap akan menculikmu, Adrianna.”

Mata Sisy tertuju ke wajah tersenyum di depannya. Tentu saja Finist bercanda ‘kan?

“Kalau begitu, lebih baik aku nggak kasih tahu di mana aku tinggal—walau mungkin kamu sudah mencari tahu, Finist.”

“Ich bin kein spion, meine prinzessin.” [Aku bukan mata-mata, putriku]

Sisy sempat memercayai itu sampai akhirnya Finist berkata:

“Bagaimana rasanya tinggal di distrik terpadat di SF? Bisa tidur?”

Kedua mata gadis ini pun melotot. “Tuh ‘kan!”

Di mana lagi distrik terpadat San Francisco kalau bukan Sunset District, atau lebih dikenal dengan The Sunset, yang tak lain daerah tempat keluarga Sisy menetap.

“I have eyes everywhere.” Finist hanya mengangkat bahu.

“Aku lebih suka jika kau bertanya langsung kepadaku.”

“Bertanya kepada angin, mengapa dulu Adrianna meninggalkan Wina tanpa alasan?” Melihat air muka tidak nyaman gadis ini, Finist pun berkelakar.

“Tanpa alasan? Kamu bahkan tahu papaku kerja di mana pun sesuai perintah kantor.”

Finist melingkarkan lengannya di bahu gadis ini, merasa senang karena keakraban itu ternyata masih bersemi di antara mereka.­­­

Sementara lelaki ini asyik bercerita tentang perbandingan kota Wina dulu dan sekarang, diam-diam Sisy mengintip laman berita detik.com yang sama pada ponsel di dalam tasnya.

WorldEye. SmithsonCorp. Hotel Champrey. Banyak istilah yang terasa asing di telinga Sisy saat melihat sekilas artikel itu lagi. Namun, yang terpenting: ada berapa Diaz Hanafiah di Indonesia?

Sisy kenal satu. Walau demikian, sosok yang dulu tak sekadar mengecap namanya, melainkan pernah menjadi satu-satunya di hati tidaklah seperti ini. Jangankan mabuk sampai naik ke atas meja di sebuah bar lalu berakhir dengan keriaan semalam suntuk di penthouse suite Hotel Champrey, Diaz Hanafiah yang diketahuinya tampak “alergi” dengan pesta!

Mungkin Diaz Hanafiah yang lain. Tak berdaya mengendalikan perasaannya, Sisy pun membiarkan penyangkalan demi penyangkalan menyesaki kalbunya.

Sejak mantap memilih pergi ke SF,  Sisy ingin mereka menjalani hidup tanpa beban dengan melepaskan cinta itu. Janji macam apa yang dapat dipegangnya untuk tetap saling sayang—untuk bisa “jauh di mata, dekat di hati”—ketika terpisah jarak ribuan kilometer?

Sisy memang pesimis akan hubungan jarak jauh. Ia tak sanggup hanya mengandalkan tampilan raut wajah saat mengobrol via Skype. Lebih dari itu, sesungguhnya ia ingin Diaz berbahagia dengan perempuan yang dapat bersamanya setiap saat.

Bijak dan adil. Begitu penilaian Kayo, juga Mama dan Papa, terhadap keputusan Sisy tersebut.

blog sitta karina - cuplikan bab 1 putri hujan & kesatria malam novel phkmFoto: thefashionisto.com

Setelah setahun berlalu, momen-momen indah di perumahan Bintaro Lakeside tak lagi merongrong akal dan perasaannya. Bahkan, Sisy sempat menjalin hubungan dengan Kazu Kilpatrick, lulusan Berkeley berbakat dan model iklan Calvin Klein Underwear yang tak lain kakak Kayo.

Sisy menghela napas singkat, enggan memikirkan ini lebih lanjut. Berbincang dengan teman lama seperti Finist tentunya lebih menyenangkan daripada membiarkan dirinya larut dalam nostalgia pedih.

“Kamu pasti ke SF nggak sekadar buat bertemu denganku ‘kan?”

Finist berlagak pilon. “Memangnya perlu alasan lain?”

Baca juga: What Kaminari Kei Looks Like…

Sisy memiringkan wajah seraya berkacak pinggang, tak mau lagi mendengar candaan.

“Oke, oke. Aku sedang terlibat dalam proyek WorldEye, mewakili SmithsonCorp. Kompetitor satunya lagi, Hanafiah Group, berasal dari negaramu. Pernah dengar?”

San Francisco International Airport

“Harusnya flight cuma tujuh belas jam,” Diaz Hanafiah mengeluarkan sebungkus Marlboro dari saku, matanya mendelik galak ke pemuda berkacamata di samping,”andai saja anak ini nggak keliaran di Kaizosha sampai ketinggalan pesawat!”

Christopher Hanafiah membalas lirikan tersebut tak kalah sengit. “Susah tau milih buku di toko itu. Hampir semuanya berbahasa Jepang!

“Di pesawat tuh harusnya tidur aja, Chris!”

“Udah, udah…” seorang lelaki muda berkacamata lainnya menengahi keduanya dengan suara halus nan simpatik.

“Nggak usah belain Chris melulu, Naren.” Diaz mendengus. “Ribet satu pesawat sama orang yang phobia ketinggian. Harusnya aikidoka nggak takut begituan!”

Aikidoka juga manusia, Yaz.” Muka Chris berubah masam tatkala rahasianya dibongkar di depan Narendra Radiyat—Naren—perwakilan akuntan Hanafiah Group yang diboyong ke Frisco untuk membantu Diaz.

Naren sudah seperti kakak bagi Diaz, terutama karena sifatnya ngayomi tanpa kehilangan jiwa mudanya. Sejak mengikuti pelatihan intensif di Hanafiah Group, termasuk di akhir pekan, ia merasa kehilangan hari-hari rileksnya bersama geng Bintaro Lakeside, kompleks tempat Diaz dan keluarganya tinggal.

Kehilangan nasihat Fey dan Tito yang untungnya kini bisa terobati dengan kehadiran Naren yang sabar mendampingi Diaz melewati awal sulit menjadi orang baru di perusahaan yang bernama sama dengan nama belakangnya.

”Manusia pilihan. Ingat itu.” Diaz tersenyum bangga—sedikit belagu.

Chris tidak menimpali. Jika memang begitu, mengapa susah sekali mengatasi depresi yang mengungkung dirinya? Andaikan ia bisa sepercaya diri Diaz.

“You’re getting better. Always develop your ki, Chris.”

“So I can forget Aki?”

“So you can recover completely.”

Suara kalem Diaz membuat Chris sadar bahwa si senpai mengetahui kondisinya selama ini.

Ki atau chi  merupakan sumber kehidupan—elemen esensial yang menjadikan seseorang tak hanya kuat, tetapi selaras dengan semesta di sekitarnya. Sejak rutin berlatih aikido, Chris tahu betapa pentingnya mengelola ki di dalam diri. Mungkin karena itulah aku tetap hidup di saat ingin sekali menyusul Aki, batinnya.

Lalu, Chris menoleh ke sang sepupu—si galak yang betah mendampingi jiwa kalutnya sejak kepergian Aki yang meninggal karena penyakit gagal jantung beberapa tahun silam.

Senyum kecil perlahan membingkai wajahnya. “Lebih baik takut tinggi daripada takut cewek ‘kan?”

“Aduh! Sakit, tau?”

Akibat penuturan usil itu, kaleng Coca-Cola bekas pun mendarat mulus di kepala Chris.

Ketika ia membalas, kaleng itu bukannya mengenai jidat Diaz, melainkan Naren.

Seraya mengusap permukaan kulit yang sedikit benjol, Naren pun melenguh kesakitan.

“Look what you’ve done, four eyes!”

“You started it!”

“Guys.” Suara Naren terdengar lebih tegas. Pria di akhir usia dua puluhan dan merupakan kepercayaan dewan komisaris ini menatap dua anak muda di depannya secara bergantian seperti mereka anak kecil yang tengah berebut permen loli.

“Lihat nggak sih, Naren? Sejak tadi, Diaz yang cari perkara.” Chris menoleh ke Naren, berharap pembelaan.

Naren menoleh ke arah Diaz yang tetap bungkam dalam air muka cemberut. “Mungkin kamu yang gusar sejak tadi pesawat mendarat dan melampiaskannya ke Chris, Yaz.

“Apakah… kamu nggak suka SF?”

Pertanyaan Naren membuat tubuh Diaz jadi sekaku baja.

blog sitta karina - cuplikan bab 1 putri hujan & kesatria malam novel phkmFoto: glitter and gingham

“Sedikit grogi aja,” Diaz merespons kalem, teringat after party untuk merayakan keberangkatannya ke Amerika:

“SF itu cantik dan sangat multikultur. Tempat yang cukup aman, asal nggak ada yang jadiin elo umpan untuk menghajar gue.”

“Jangan bilang elo nidurin cewek orang,” Diaz merespons malas, sudah tahu karakter sepupunya.

Ketika acara utama berangsur usai—satu per satu tamu penting berusia lima puluh ke atas pulang—berarti after party baru akan dimulai.

Baca juga: Baca Novel Romantis Terkini: Pesan dari Bintang

Walau after party tersebut diadakan di bagian belakang kediaman Nenek Hanafiah—meneruskan pesta sebelumnya—suasananya tidak kalah seru. Sedikit lebih liar, tentunya.

Awalnya, seluruh area taman, kolam renang, serta lapangan tenis ditutupi tenda dengan chandelier kristal bercokol di tengahnya. Berikutnya atas instruksi Inez Hanafiah, lampu chandelier dimatikan dan sebagai gantinya ratusan lilin aneka ukuran pun dinyalakan, memberikan penerangan temaram yang dramatis.

Beberapa botol Château Fonplégade, wine pilihan Nara, tertata rapi di meja tepi taman, mengisyaratkan sesi free-flow drink dimulai.

Berbeda dengan sebagian tamu, Diaz hanya mengambil segelas jus stroberi segar. Ia yang baru seminggu sembuh dari penyakit demam berdarah tak berani melanggar nasihat ibunya soal menjaga pola makan selama masa pemulihan.

“Nggak semua urusan harus bermuara ke cewek ‘kan?” Nara bersiul ringan.

“Ya itu ‘kan kebiasaan elo!” Diaz spontan melirik ke arah Jasmine dan Adel, dua perempuan jelita yang sejak tadi setia di sisi Nara.

Seperti biasa Nara tetap cuek dengan reaksi sewot sepupunya yang sebenarnya takut “kecipratan” dimintai pertanggungjawaban juga akibat ulahnya. Namun, kali ini diamnya Nara terasa lebih senyap—lebih ngeri.

“Dia jauh di Austria. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Yaz.”

Nara jelas-jelas tidak sedang berbicara dengannya, melainkan bergumam sendiri.

Tetapi, Diaz tetap penasaran.

“Siapa yang di Austria?”

Nara tetap bungkam.

“Elo, kok, kayak takut begitu. Gue nggak salah lihat ‘kan?” Diaz memastikan.

“Sedikit khawatir, iya. Sigra kayaknya juga agak gelisah.”

Diaz menoleh ke sepupunya yang masih belasan tahun dan terlihat salah tempat berada di pesta ini. Sigra tampak serius bermain Scrabble bersama Bianca, tak terganggu dengan beberapa relasi dari klan Soi dan Syadiran yang mabuk dan menjajal permainan Kings Cup.

Walau jaraknya terpaut lima meter, Sigra seperti mampu merasakan tatapan penasaran Diaz dan menoleh ke arahnya, memandang nanar.

Diaz kembali berpaling ke Nara. “Gelisah kenapa? Apa yang elo dan Sigra sama-sama khawatirkan, mengingat Sigra bukan tipe penjahat kelamin kayak elo, Nar. Jadi, ini bukan masalah cewek?”

“Bukan. Sesuatu yang setengah mati ingin Sigra dengar pengakuannya—langsung dari mulut gue.”

Diaz tertawa jengkel sambil meninju bahu si sepupu. “Damn. Separuh hidup anak itu bahkan dihabiskan di luar Indonesia, lalu sekarang dia main rahasia-rahasiaan bareng elo? Bikin penasaran aja.”

“I don’t want to involve my Sucketeers bros, ya know.” Nara sengaja menggunakan istilah ejekan yang biasa orang gunakan atas keakraban Diaz, Reno, dan dirinya sendiri. Sebuah plesetan dari The Three Musketeers.

“Ini berhubungan dengan kecelakaan yang elo alami di the Met—di New York dulu?”

“Elu mending ngg… gak… u… sah… ta… u…”

Diaz tidak tahu kelanjutannya karena setelah itu Nara roboh ke sofa di belakangnya. Pendaratan yang mulus dan tidak menarik perhatian karena mereka mengira Nara cuma ketiduran, bukannya mabuk wine.

“Diaz grogi dengan proyek WorldEye ini?”

Mendengar suara Naren, fokus Diaz kembali ke masa kini. Jika mampu tampil cemerlang, maka WorldEye.com dan seluruh kelompok usaha media DCNews yang sudah kokoh sejak puluhan tahun silam akan bermitra dengan Hanafiah Group untuk memenangkan pasar Asia.

“Apa lagi? Diaz ‘kan baru bergabung di HG dan langsung mendapat tanggung jawab sebesar ini,” tiba-tiba Chris menginterupsi. “Siapa perusahaan besar yang akan HG hadapi nantinya? Naren sudah pelajari profilnya, ya?”

“Tentu, Chris. Namanya SmithsonCorp. Perusahaan multinasional bidang media, telco, dan kini merambah ke rekayasa pertanian. Namun, melihat kemampuan Diaz, saya yakin Hanafiah Group merupakan saingan yang sulit dipatahkan.”

“Untung gue masih kuliah.” Chris menaruh tangannya di dada dengan raut lega.

“Maka itu, kehadiran Freya dibutuhkan. Apalagi Diaz belum sebulan sembuh dari demam berdarah,” imbuh Naren.

Diaz mengangguk, akhirnya tersenyum. “Kau benar, Naren. Tetap tenang, jalankan proyek WorldEye dengan baik, lalu kembali ke Jakarta dan menikah dengan Freya.”

“Asyiknya…” Chris melengos seraya membantu Naren menenteng koper, tas duffel, dan tas laptop sekaligus,”minggu depan tunangan tercinta nyusul ke sini.”

“Soal move on, sepertinya kita mesti belajar dari Diaz, Chris.” Naren menepuk bahu pemuda berkacamata di sampingnya.

Move on.

Diaz hampir menghentikan langkahnya kala mendengar dua kata sensitif itu.

Sisy selalu terjepit antara ingin dan tidak ingin pergi…

Cinta tidak posesif. Yang seperti itu namanya ego…

Mendadak, ucapan seseorang tiga tahun silam di taman gazebo perumahan Bintaro Lakeside berdenging di pikirannya.

Bukannya rileks, ekspresi Diaz malah kian mengeras saat berjalan lebih dulu. “Of all those busy cities in the world, why SF?”

Naren dan Chris hanya saling bertukar pandang, tidak mengerti dengan perubahan sikap itu.

Hope you enjoy this teaser, dear readers!

Nantikan rilisnya novel Putri Hujan & Kesatria Malam di bulan Agustus tahun ini dan pastikan kamu mengikuti pre-order #novelPHKM edisi bertanda tangan di Tokopedia, ya! 🥰

Dari para tokoh serial Keluarga Hanafiah dan cuplikan bab 1 Putri Hujan & Kesatria Malam ini, siapa yang paling kamu tunggu-tunggu muncul di cerita?

 

[1] Istana di Wina yang dulu digunakan pada musim dingin

*) Feature image via gotceleb.com



Leave a Comment

  • (will not be published)


5 Responses

  1. Maya

    Whoa, the first chapter had me hooked! I remember Sigra from the new Imaji Terindah, and when I reread it, he was in his early 20s? 🤔

    Nevertheless, I’m excited for Hanafiah series. Thank you for your dedication to write them kak, you are truly a talented writer!

    Reply
  2. Diyan

    Kangen banget sama reno 🥺 ngomong2 baru liat di list buku serial hanafiah kenapa ga ada titanium tapi ada dunia mara? Penasaran bgt karena ada 2 unrelease book hmmm

    Reply
    • Dunia Mara ditulis sebagai cerbung di majalah Gogirl! setelah terbitnya Seluas Langit Biru dan Titanium, baru kemudian dibukukan. Semua buku serial Hanafiah akan dibukukan kembali satu per satu, kok 😉

  3. Tia

    Omg, mbaaaa ga sabar banget mau baca fullnya. Ini hanafiah series yang bikin deg-degan waktu pertama baca. Semoga cepat keluar pengumuman PO-nya kapan ya mba

    Reply
  4. Neni

    Akhirnyaaa.. kangeeeeeennn banget sama novel ini. Aku plaing tggu2 adegan Sisy meet Diaz n Kayo meet Chris. Dazzling and happy ending 😍😬😘🤗

    Reply