Pelajaran berharga dari sosok tak terduga.
Apa rasanya menjadi cucu pertama dari anak pertama klan business mogul tersohor ini?
Alif akan berbagi sedikit kisah manisnya, #MataHati, yang langsung dikutip dari serial tweets di Twitter dan pernah direkap dalam http://chirpstory.com/li/279493:
Mata Hati
oleh
Sitta Karina
Selama ini aku menganggap apa-apa bermula dari dan untuk uang.
Ternyata aku, bagian dari klan #Hanafiah, tergerak untuk melakukan sesuatu yang tak hanya dinilai dengan nominal angka.
Pertama kali aku mengenal Kendra adalah saat Hanafiah Group menjadi sponsor acara sekolah bernama FrontStage bulan lalu. Sebenarnya bukan Hanafiah Group yang menginginkan kerja sama ini, melainkan aku yang mengusulkan ke Papa, si anak tertua di klan Hanafiah. Keluarga yang menurut beliau ibarat Zeus di Olympus.
Hanafiah bukanlah orang-orang moralis. Hidup kami serbacepat, berpacu dengan bergulirnya detik, dan sangat menjunjung tinggi ungkapan ”waktu adalah uang”. Para Hanafiah tidak punya waktu membicarakan moral dan kata mutiara melankolis sejenisnya. Moral yang masih tersisa—dan menonjol selama ini—adalah kebiasaan menyayangi keluarga lebih dari segalanya, dengan segenap perasaan yang ada.
Di antara sesama Hanafiah, rasa sayang yang terjalin ibarat kekerabatan dalam keluarga besar mafia.
Minggu lalu, aku, Alif Agasthya Hanafiah, melihat tayangan berita di TV yang ditinggalkan Papa menyala begitu saja karena ada urusan mendadak di Hong Kong. Jadi, Papa langsung terbang dengan salah satu kendaraan operasional HG alias jet pribadi.
Aku sendiri tidak pernah menonton saluran TV lokal sebelumnya. Jadi, cukup mencengangkan kala menyaksikan liputan ibu-ibu menangis saat antre membeli sembako atau sekumpulan anak kecil bermain air saat rumah mereka terendam banjir.
Awalnya semua terasa berlebihan di mata. Tapi, sesuatu yang tampak seperti drama ini nyata—hidup mereka benar-benar susah!
Karena tayangan singkat itu, terlintas hal lain di kepalaku selain pertandingan rugby esok lusa. Aku ingin membantu orang lain. Mr. Hicks di kelas Social Studies SMA-ku mengatakan ini bisa direalisir dengan menggelar kegiatan sosial.
Dan sebenarnya kegiatan sosial bukanlah ciri khas para Hanafiah, karena dianggap tidak berkontribusi mendongkrak nilai saham perusahaan!
Papa orang yang sangat sibuk, living in a very fast lane. Hal tak penting begini seharusnya takkan menarik perhatiannya. Jadi, aku bisa asyik sendiri dengan proyekku ini.
Tapi, ternyata aku salah.
Salah besar.
“Elo udah bantu banyak di FrontStage. Sekarang apa yang bisa gue bantu buat elo, Alif?”
Hari ini aku dan Kendra nongkrong di Dairy Queen, tempat yang menurutku commoner-like. Amat berbeda dari Peacock di Hilton.
Saat ini tak tak kumungkiri aku berusaha lebih keras untuk mampu berkonsentrasi pada proyekku—dan bukan pada Kendra.
Profesionalisme jauh lebih penting daripada perasaan kekanak-kanakan sesaat saja. Perasaanku pada Kendra, misalnya.
Lagi pula—kalau ini cuma naksir—nggak sampai seminggu perasaan tersebut akan pudar dengan sendirinya, bukan? Seperti yang selama ini kurasakan ke Laila Adhyaksa, Larissa Soi, atau Edith Lavishire yang merupakan putri seorang count di Inggris.
Aku kembali menatap Kendra, mendengarkan pendapatnya atas usulan Rice for Life. Kalau Mama melihatku duduk sedekat ini, menatap cewek selekat ini—cewek yang bukan Larissa atau Edith—she will definitely freak out. Jadinya pasti lucu banget!
Mama paling tidak suka aku berteman dekat dengan perempuan yang—kasarnya—tidak berada dalam kelas sosial yang sama seperti kami. Kendra memang bukan Larissa maupun Edith. Mama dan papanya adalah pegawai biasa, bukan pengusaha, pejabat, duta besar, atau bahkan darah biru. Kakek dan neneknya tidak tinggal di Menteng, jadi bisa dipastikan Kakek dan Nenek Hanafiah tidak tahu siapa mereka.
Aku mulai dekat dengann Kendra sejak proyek FrontStage dimulai. Acara sekolah itu sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, tidak juga seakbar PL Fair. Tapi, kiprah Kendra sebagai ketua panitia pergelaran perdana mengagumkan. Ia pemimpin yang bisa diandalkan.
And I like that kind of girl, pikirku, memperhatikan siluet setengah badan perempuan ini. Kendra will look striking in Chanel and we can go…
”Aku ngoceh sendiri, Alif.” Muka Kendra cemberut lantaran dicuekin. Rupanya aku kelamaan melamun—dan ketahuan.
”Sori, tadi sampai mana kita?” Tak ingin rasanya Kendra mengira diriku tidak tertarik kepada pembicaraan kami—kepadanya.
Rice for Life adalah proyek kemanusiaan murni ideku. Tiap satu helai pakaian bekas yang masuk kotak donasi kunilai setara dengan satu karung beras untuk disumbangkan ke keluarga kurang mampu. Puluhan karung beras akan kubeli dengan uang tabunganku sendiri. Sedangkan, tumpukan baju dan celana bekas akan kusumbangkan langsung ke panti asuhan yang sudah Kendra data sbelumnya.
“Untuk pelaksanaannya, teman-teman gue dan teman-teman elo bisa membentuk tim yang turun langsung ke lapangan, Alif.”
“Panas-panasan?” Aku agak tercengang dengan ucapan enteng tersebut.
”Nggak. Taman Chitrakala ‘kan ber-AC. Dinginnya kayak di Kutub Utara,” Tentu saja Kendra tengah menyindirku.
Kini mukaku yang jadi masam. Kendra mengejekku.
Huh, jadi ia menganggapku laki-laki manja yang meleleh di bawah sinar matahari?
Sayangnya rasa sombong itu tak bisa lama-lama menetap di hati. Apa yang Kendra kira benar. Aku memang anak manja. Memang tidak ada yang mengatakan itu, bahkan chef di rumah sekalipun.
Tidak ada yang berani. Tapi, aku mengenal siapa diriku.
Foto: @ameliazadro
”Yuk, lanjut di rumah gue aja. It’s too crowded here,” akhirnya aku memutuskan tanpa berdiskusi.
Aku hampir tidak memercayai perkataanku itu. Aku baru saja mengajak seorang perempuan ke rumahku!
Sepupuku, Ruiz dan Taba, pasti akan berhenti mengejekku lame ass (lantaran dianggap penakut dengan cewek) jika mendengar ini.
Kendra mengangguk, tampak bertanya-tanya. Blizzard di depannya belum habis. Kalau itu minumanku, pasti kutinggalkan begitu saja.
Tapi, Kendra merasa sayang. Cepat-cepat ia raih gelas plastik itu lalu mengikutiku. Aku mengulum senyum mendapati ini. Kendra tidak bersikap malu-malu di depanku dan anehnya aku menyukai itu. Bersamanya, semua terasa mengalir tanpa paksaan.
Di rumah ternyata ada Papa. Guratan lelah menghiasi wajahnya. Rupanya ia baru kembali dari Hong Kong siang ini.
Sorot mata Papa berubah jadi penasaran—lebih gelap—mendapati Kendra berdiri di sebelahku. Apakah kedatangan aku dan Kendra jadi masalah baginya? Kukira Mama saja yang akan bereaksi begitu jika aku membawa teman perempuan ke rumah. “Hai, Pa. Ini Kendra.”
“Selamat siang, Oom.” Kendra lalu menyapa sopan. Namun, kerikuhan mengambil alih suasana ketika respons Papa hanya berupa anggukan kecil.
”Aku akan pakai study room, Pa.” Pengecut! Bahkan saat mengatakan ini aku tidak berani melihat langsung mata Papa.
”Membicarakan kegiatan nonprofit itu, ya?” Kami sudah berjalan beberapa langkah, tapi tatapan Papa dari belakang bak menusukku.
Aku berbalik badan. Kali ini kupastikan gesturku tegas. ”Ya. Namanya Rice for Life. Tidak ada nama Hanafiah terlibat di dalamnya.”
”Tapi, kau seorang Hanafiah,” Papa tersenyum—senyuman yang aneh dan tidak akrab,”tentunya nama itu jadi terlibat juga.”
Dua jam kemudian aku sudah lupa akan sikap dingin Papa. Berdiskusi dengan Kendra di study room—ruang kerja pribadiku yang menurut Kendra bisa dijadikan lapangan basket—benar-benar pengalaman berbeda. Aku tidak pernah membawa cewek ke sini. Tidak selain Mama.
Dan aku yakin Kendra pastilah heran melihat ruangan berdekor ajaib ini: lemari dan meja kerja kayu jati, chandelier lengkap dengan wallpaper motif klasik damask.
Seandainya ia tahu bukan aku yang mendesain interior kamar; laki-laki tujuh belas tahun mana sih yang menginginkan kamar pribadi ibu suri macam ini?
Tapi, lagi-lagi sulit mendefinisikan kata normal apabila berhubungan dengan Hanafiah.
Keluarga besarku yang heboh itu.
Kendra benar-benar berpengalaman soal mengorganisir kegiatan, begitu juga dengan realisasinya di lapangan. Berbeda dengan diriku yang hanya kenal rugby apabila berhubungan dengan lapangan. Dia menjabarkan secara detail apa saja yang harus dilakukan. Semua terorganisir, sistematis, dan tidak bertele-tele.
Dari sini ketahuan, pengalaman berorganisasiku malah nol. Padahal, nanti ketika tiba saatnya aku berkecimpung di Hanafiah Group, skill ini termasuk kualifikasi yang diwanti-wanti Papa. Jadi, tidak hanya ”pintar di atas kertas” saja.
“Jadi, Rice for Life sudah bisa jalan mulai minggu depan?” Mataku membelalak senang.
“Kenapa tidak? Kita sudah punya semuanya, rencana matang dan SDM yang oke.”
“Yeah, tapi—”
”Alif!”
Aku terkejut, tapi Kendra lebih terkejut lagi mendengar interupsi bernada tinggi itu. Kaleng soda yang dipegangnya sampai terjatuh, mengenai karpet persia di bawah kakinya.
Suara Mama.
Aku tidak pernah mendengar Mama berkata seketus itu. Auranya seolah mampu membekukan ruangan yang sudah lebih dulu dingin ini.
Sialnya, aku terjebak di dalamnya.
”Jangan bermain-main di sini.” Mama melirik tajam ke arah Kendra.
Jelas Kendralah penyebab dan sasaran kemarahannya. Bagaimana tidak, saat ini Kendra berada di teritoriku yang paling pribadi, pada kesempatan berkunjungnya yang pertama!
Tak perlu kutanya lagi, jelas Mama murka saat ini.
Dan yang kulakukan berikutnya kontan membuat beliau makin membara.
Merasa bingung dan serba salah, aku malah menggandeng tangan Kendra ke arah pintu. Wajah Mama memerah, Kendra pun demikian.
Dalam satu hari, aku sukses membuat dua orang wanita di dekatku gusar dan tidak nyaman.
Sial.
***
Hari yang kutunggu-tunggu untuk kegiatan amal Rice for Life berubah jadi mimpi buruk.
Pada hari H itu hanya Kendra dan sahabatku, Wes Rooney, yang datang ke Taman Chitrakala, taman kota yang Minggu ini padat dengan adanya bazar liburan sekolah.
Aku benar-benar tidak mengerti. Seharusnya ada sahabat Kendra—Moza, Ganesh, dan Andien—serta beberapa teman tim rugby yang juga ikut berkumpul di kios kecil taman. Tapi, kini malah muncul petugas pamong praja, lengkap dengan pentungan dan muka masam mereka.
”Kok cuma kita bertiga? Yang lain ke mana?” Aku menoleh dan berkata ketus ke Kendra, seolah ini salahanya.
Kendra tak menggubris nadaku itu. Ia terlihat sama bengong, sama bingung, dan sama terkejutnya seperti diriku.
”Maaf, Dik, kami harus membongkar kios tanpa izin ini. Kalau dibiarkan, bisa menjamur seperti warung-warung liar di pinggir taman.”
Aku menarik Kendra ke belakangku, memastikan dirinya aman.
Aku tidak suka cara mereka memandangi kami, terutama Kendra.
Dan lebih tidak suka lagi cara brutal mereka membongkar kios kayu yang sudah siap dengan beberapa kardus kosong untuk menampung baju bekas.
Beberapa anak sekolah yang tengah mengantre dengan baju bekas bawaan mereka juga diusir oleh para petugas.
Setengah mati Alif mengendalikan diri, menenangkan darah yang mendidih melihat tindakan yang dianggapnya semena-mena itu.
Sebelum hari H, proyek Rice for Life ini sudah disiarkan di stasiun radio remaja terkenal, jadi beritanya buzzing banget di seantero Jakarta. Ironisnya, kini tak hanya aku dan Kendra kekurangan orang untuk mengepak barang, ”gubuk” kami pun akan segera dibongkar.
”Kita punya izin untuk menggelar acara ini selama seminggu.” Aku menunjukkan kertas dari saku dengan bahasa tubuh kesal.
”Resmi? Dari sekolah? Mana, coba lihat.”
“Itu…”
Si pemimpin pamong praja menaikkan sebelah alis melihat tak ada kata meluncur dari mulutku setelah itu.
Tentu aku sudah punya izin—dari panitia bazar resmi. Tapi, izin dari sekolah? Memangnya perlu? Atau sekalian saja dari Pemda setempat? Serumit itukah? Aku tak sanggup lebih lama lagi berdiam diri maupun pasrah dengan perlakuan mereka.
”Dari mana kalian tahu proyek ini dan kenapa langsung main ngerobohin, sih?” Mataku menatap curiga ke orang-orang berseragam di depan.
Tidak ada yang menjawab. Mereka malah jadi saling lihat, sedikit rikuh walau rahangnya masih sekaku batu.
Aku yang sejak tadi hanya mengedepankan emosi, emosi, dan emosi—merasa dipermainkan keadaan, mendadak jadi sadar.
Bukan keadaan yang tengah mempermainkanku, melainkan orang.
Satu orang yang amat kukenal.
Foto via Nishalove
Siapa lagi yang mampu mengerahkan sepasukan pamong praja yang bahkan sama sekali tak dapat menjawab pertanyaan simpelku tadi?
Tiba-tiba aku merasa kuat.
Bisa melawan balik.
Aku melirik sedikit ke arah Kendra. ”Kendra, baca perjanjian kerja sama ayat 5! Gue yakin semua ada di situ.”
Entah karena suaraku yang terdengar membentak atau suasana terlalu mencekam, Kendra tidak juga mulai membaca.
Ia malah tergagap.
Semua ini membuatku semakin kesal, mulai kehilangan kesabaran.
“Kendra!” bentakku.
”P-Pihak permata—pertama!—dibebaskan dari…” Kendra mendekatkan kertas ke matanya, padahal aku tahu ia tidak berkacamata, segala… tunggang jawab mengenai—”
”Apa sih yang elo baca, Ken? Cepetan!” Aku memotongnya, kesal.
Aku tak habis pikir, sempat-sempatnya Kendra bercanda dalam situasi genting seperti ini.
Sama sekali tidak lucu! Tidakkah ia menghargai usahaku—menghargai diriku?
”Sini!” Aku langsung merampas kertas tersebut hingga tak sengaja mencakar punggung tangan Kendra.
Tersentak, Kendra pun berlari pergi dari situ.
Bagus.
Bagus sekali!
Sekarang aku kerja sendirian di saat antrean anak sekolah yang membawa pakaian semakin panjang dan berjejalan. Mereka mulai gerah dan marah. Beberapa cacian terdengar di telinga, menyerukan betapa payahnya panitia penyelenggara ini—aku—padahal ini baru hari pertama!
Para petugas pamong praja langsung pergi begitu aku selesai membacakan perjanjian kerja sama kami. Aku merasa sedikit lega, setidaknya proyekku masih bisa berjalan. Harapan belum sepenuhnya padam.
Wes menjulurkan teh lemon dingin ke arahku—aku bahkan hampir lupa, selain Kendra, Wes ada di sini juga. Jadilah kami berdua “kerja rodi” mengumpulkan semua pakaian bekas sekaligus mendatanya satu per satu.
Belum sampai sepuluh menit, aku sudah mengusap keringat yang menetes deras dari kening.
Karena pegal, kupalingkan wajah ke arah kiri, dan—apa itu?
Sedan Mercedes-Benz “Mercy” Tiger warna hitam dengan pelat nomor yang angkanya lebih kuhafal daripada nomor kartu pelajar Jakarta International School beranjak pergi.
Geram rasanya melihat mobil itu.
Kini aku makin yakin siapa biang keladi di balik hancurnya acara Rice for Life.
***
Brak!
Kubuka keras pintu kamar kerja Papa.
Tak disangka, Mama yang menantiku di situ. Mukanya sama masamnya seperti petugas pamong praja tadi siang. Aku tahu beliau pasti ingin menegurku soal Kendra, tapi urusanku saat ini jauh lebih penting.
”Papa mana?” Sejujurnya aku tidak bermaksud seketus, sedingin itu.
Mama menutup buku Anna Karenina di tangan. Raut wajahnya tak kalah tegang denganku. ”Jangan bawa perempuan itu lagi ke sini, Lif. Jauhi dia sebelum terlambat.”
Simpel. Tegas. Tajam menusuk.
Sebelum aku sempat merespons, Mama meneruskan tegurannya dengan intonasi lebih dramatis. ”Alif yang Mama kenal tidak pernah bawa perempuan ke ruang kerja.”
“Belum. Bukannya tidak,” tukasku tenang. ”Lagi pula kita hanya diskusi biasa.”
Bagaimana kalau Mama memergokiku sedang mencium Kendra? Big deal.
Dan kenapa aku mendadak membayangkan itu? Padahal, sikapku ke Kendra sungguh buruk.
Aku tidak mau lama-lama mendengar omelan Mama. Hariku buruk. Panas, capek, dan kesal berpadu jadi satu. Dan Kendra… ia begitu saja meninggalkanku. Heck I feel so… betrayed.
”Mama ingin kamu kembali ke kehidupanmu yang sebelumnya. Yang… normal.” Mama tampak keras kepala dengan maksudnya.
”Bagian mana dari kehidupanku sekarang yang abnormal?” Aku melengos malas.
”Bermain dengan perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Keluyuran di Taman Umum Chitrakala—”
”Untuk melakukan aksi sosial. Ini pengalamanku yang pertama, Ma!”
Mama tetap tidak mau kalah. ”Hanafiah punya puluhan yayasan sosial. Kurang apa lagi, coba?”
Aku menoleh ke samping, setengah mati mengatur napas. Berharap dengan begitu emosi dapat kuredam.
”Hmm, Mercy Tiger belum pulang…” Tiba-tiba aku teringat mobil apa saja yang barusan kulihat terparkir di carport dan melanjutkan perkataan tanpa beban,“setelah cabut dari Taman Chitrakala, Papa ke mana lagi?”
Raut pucat Mama berikutnya sudah cukup menjadi jawaban bagiku.
”Pamong praja itu… ide Papa atau Mama?”
Suaraku terdengar bak bisikan. Hampir menangiskah?
Bukan.
Ternyata aku kecewa—sangat kecewa pada kedua orangtuaku.
Karena Mama tidak juga membuka mulut setelah sepuluh detik yang lambat itu bergulir, aku pun pergi.
Sinar matahari begitu merah, begitu membakar walau hari kini menjelang petang.
Aku terus berjalan kaki menyusuri jembatan penyeberangan, setengah melamun, sampai akhirnya tiba di perumahan yang daerahnya sama sekali asing.
Cuaca terik seperti ini mengingatkanku akan obrolan dengan salah satu sepupu Hanafiah, Ruiz, saat menghabiskan musim panas di Copacabana. Saat itu kami baru melihat dua sosok latina cantik berbikini melintas dengan segelas Caipirinha di tangan masing-masing. Napas kami tertahan selama beberapa detik saking takjubnya; Brasil benar-benar sarang dewi!
Ruiz yang pertama kali membuka mulut. “Mau bawa cewek kayak begitu ke Hanafiah, pasti perjuangan buat dia. Buat kita.”
“Bawa cewek ke Hanafiah? Cih. Yang jelas, bukan gue duluan.” Aku terkekeh.
“Tentu saja elo, mi amigo.” Ruiz menggeleng.
Lalu, Ruiz melanjutkan,”Di antara kita, cuma elo yang udah punya tujuan hidup. Gue belum. Adik-adik apalagi.”
Kini, aku makin tidak yakin dengan ucapan sepupuku itu.
Tujuan hidup apa yang dapat kucapai di saat jalan menuju kebaikan terasa begitu sulit?
Lama aku mematung di situ seakan sengaja membiarkan diri melebur dengan senja. Pertama kali hati ini meluruh gelisah.
Aku tahu setelah ini tak mungkin aku pulang tanpa tersasar… kecuali aku bertanya pada si pemilik rumah di depanku.
”Kendra.” Nama itu terucap begitu lirih. Paduan rasa putus asa, capek, sekaligus kehabisan uang sampai membeli segelas kecil air mineral saja tidak bisa.
Ya, sampai di depan rumah Kendra, aku benar-benar bangkrut.
”Rice for Life hari pertama sukses.”
Karena Kendra masih berdiri diam, aku jadi grogi.
Dan saking groginya, aku jadi melakukan hal-hal bodoh.
Merangkul perempuan ini, misalnya.
”Maafin gue, Ken,” bisikku, masih mendekapnya erat. “Kalau seseorang nggak tolol dan berada dalam keadaan terkendali, saat itu dia akan memilih untuk bertanya dengan baik ketimbang membentak.”
Jadi kamu mengakui dirimu tolol?” Kendra tampak teguh, tidak hanyut dalam nuansa melankolis sama seperti yang kurasakan.
Aku kagum sama cewek kayak begini. ”Iya, si tolol yang akan nerusin Rice for Life walau Bokap sudah sabotase di hari pertama. Dan gue berharap elo akan tetap di sisi gue untuk ini, Kendra.”
Aku melihat perubahan manik mata Kendra yang kini jadi lembut.
Aku ingin bertanya lebih lanjut tentang kondisi gagapnya di Taman Chitrakala tempo hari, tapi lagi-lagi indahnya senja membuyarkan semua logika di kepala, termasuk peringatan Mama yang menyuruhku menjauhi Kendra.
I’m lost in her charm. Aku tidak akan mundur.
Hatiku milikku. Bukan milik Mama, Papa atau siapa pun selain diriku.
Jadi, aku yang akan menentukan arah hidupku dan berjuang untuk itu.
Paras cantik Kendra terlihat bingung dengan semua ini. Dengan perubahan sikapku yang mungkin tampak drastis di matanya.
”Kenapa? Kenapa Rice for Life? Kenapa sih elo bersikeras melakukan proyek sosial ini padahal elo bisa melakukan proyek paling menguntungkan di dunia?”
Senyumku merekah secerah kembang api yang tiba-tiba meletup di langit malam kompleksnya Kendra.
Perlahan, tanganku menunjuk ke dada. ”Ada mata lain yang harus gue asah untuk melihat dunia, Ken. Care to help?” ****
—
Lengkapi serial Keluarga Hanafiah dan kisah-kisah karya Sitta Karina lainnya di sini.
*) Feature image: leaunleashed.com
Mba Sitta ayo bikin novel seluruh keluarga Hanafiah satu persatu dong… Semua novel Hanafiah aku udah baca dan semuanya keren kayaknya crazy rich Asian mah lewat deh hehe, ayo bikin mba kalau perlu dari awal nenek Helena Hanafiah juga dibikin novel mba, ditunggu karya selanjutnya jangan berhenti di dunia mara dan titanium tapi lanjut terus
Ah, thank you! 😍 Rencananya ada beberapa anggota keluarga yang akan diangkat lagi menjadi novel maupun novella. Thanks for waiting!
such a great stories to inspire another social project
Hello mba, baru banget selesai baca and got a bit surprised how mama Ety Hanafiah dulu seperti itu hehehe no no no its not something negative or else It’s just out of my imagination, mungkin karena I used to think mama Ety yang seperti cerita di Pesan Dari Bintang dan Titanium kali ya, yang seperti tidak mempermasalahkan hubungan Inez dan seorang seperti Niki malah merestui mereka, but overall aku selalu suka sama cerita Hanafiah dan selalu menunggu untuk cerita Hanafian selanjutnya. Dan cerpen cerpen seperti ini membuat kita bisa lebih mengenal cucu cucu Hanafiah lainnya yang tidak terlalu diceritakan di buku. Thank you so much mba ❤
Yuan – Your welcome! People changed, and Alif was the one who first made it possible 🙂
wooooww seru ceritanyaa. aku suka bingiits
Yayu – thank you! :*
wow !!
amazing mbaa.. kunjungan pertama kali nih mba. keren blognya .
ditunggu kunjungan baliknya 🙂 🙂
keep writing
Farida – Thanks, Farida! Semoga mendapatkan manfaat ya.
can’t wait for another story from #Hanafiah !! ditunggu sekali cetakan ulang untuk semua buku yg uda ga tersedia yaaaa 🙂
Tulisan kak Sitta selalu menarik perhatian saya untuk membaca. Saya tunggu karya cerdas lainnya, kak.
Well, aku baca kumpulan cerpen kakak yang Skenario Dunia Hijau dan jatuh cinta pada penulisannya. Lalu beli Satu Hari Berani, Aerial dan Lukisan Hujan (dan tidak merasa kalau itu penyia-nyiaan uang banget).
Nice story, Kak!
Kak Sitta. The last phrase left me breathless. Udah lama gak baca novel kaka yang ada sentuhan seperti ini. From the moment I found this kind of values in your hanafiah stories, that time I realized that they’re not just some “rich kid” but way more than that. Each one of their characters teaches us how to be strong in this masculine society yet still have a heart and eyes to see the people around us. Keep insipiring us Kak Sitta. I will wait for your next story patiently 🙂
aaahh… ceritanya cuma dikit..coba kalo diterusin lg kelanjutan cerita cinta alif& kendra..pasti seruuuu banget
Tidak pernah bosan mengikuti kisah klan #Hanafiah.
Nice Story! Apakah ini akan dijadikan novel juga?