Tingkatkan Penghasilan atau Biasakan Hemat, Mana yang Lebih Penting?


Blog Sittakarina - Tingkatkan Penghasilan atau Biasakan HematKamu pilih yang mana?

Apa sih penghasilan itu?

Terus, apa pula perbedaan pendapatan dan penghasilan?

Sering kali kita bingung saat mesti terangkan yang dimaksud dari kedua hal tersebut. Di mata kita, baik pendapatan dan penghasilan sekilas tampak sama. Sama-sama kompensasi uang yang kita terima sebagai hasil tukar dengan barang atau jasa yang sudah kita kerjakan.

Lantas, apa yang sebenarnya disebut pendapatan?

Meminjam definisi pendapatan yang biasa digunakan dalam perusahaan, ini tak lain seluruh uang hasil penjualan dan tidak termasuk modal. Pendapatan sering disebut sebagai revenue. Sedangkan, penghasilan atau income adalah hasil penjualan yang sudah dikurangi dengan biaya-biaya, seperti biaya produksi, biaya sewa, biaya transportasi, dan lain sebagainya.

Keuangan pribadi ternyata tidak jauh berbeda.

Ada beberapa unsur biaya terkait pekerjaan yang kita lakoni dan selama ini rupanya kita nggak sadar.

Sebut saja biaya transportasi, biaya makan siang, biaya baju kerja dan make up. Jadi, bisa hitung sendiri ‘kan berapa sebenarnya nominal penghasilan yang kita dapatkan?

Saat memiliki penghasilan, dengan sendirinya kita mulai mengatur pos-pos keuangan yang mesti dikelola. Skill ini berkembang seiring bertambahnya waktu dan pengalaman, walau ada juga yang tetap asyik dengan gaya koboinya hingga utang sana-sini menjelang waktu gajian.

Lalu, kebutuhan hidup bertambah dan kita pun mencari cara untuk meningkatkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan tersebut.

Yang tadinya lajang, kini sudah menikah. Harus berbagi nafkah dengan pasangan.

Tak lama kemudian, si kecil lahir. Penghasilan bulanan yang tadinya lebih dari cukup, kini mendadak jadi pas-pasan.

Lalu, si adik lahir dan si kakak mulai masuk playgroup.

Untungnya, pada saat bersamaan kita berhasil dipromosi, menjabat posisi yang lebih baik lagi. Dan tentunya, ada kenaikan gaji untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Baca juga: Ini Cara Menabung Uang Agar Aset Terus Berkembang

Ketika karier menanjak dan bisnis makin sukses, ada titik di mana kebutuhan mendasar kita dapat terpenuhi. Satu pencapaian penting akhirnya terlewati. Cicilan KPR lunas, bisa lebih sering makan lauk daging, atau mampu membeli beragam buah-buahan (termasuk yang nggak ada di tukang sayur).

Berikutnya, saat nominal penghasilan kita terus bertambah, biasanya pilihan kita ada dua: meningkatkan standar lifestyle atau memperbaiki kualitas kehidupan.

Yang tadinya oke aja beli baju di pasar atau ITC, sekarang pengen upgrade dong jadi H&M. Atau, tempat nongkrong yang tadinya sesimpel dan se-murmer (baca: murah-meriah) warung gaul, sekarang nggak afdol kalau bukan ke Starbucks.

Dan begitu seterusnya.

Ada masanya nanti H&M dan Starbucks pun tinggal kenangan, alias sudah nggak sesuai lagi dengan preferensi kita.

Nah, jika kita seperti itu, artinya kita memilih untuk meningkatkan standar lifestyle seiring dengan naiknya penghasilan.

Ada juga yang mendahulukan perbaikan kualitas hidup sehari-hari dan tetap berhemat, walau income terus berkembang. Saat orang-orang dengan penghasilan sebesar kita memilih mengendarai Benz dan Beemer, kita tetap nyaman mengendarai Innova atau bahkan sekelas Avanza. Bukannya nggak mampu beli, melainkan ada hal-hal di luar lifestyle yang ternyata ingin kita dahulukan. Berinvestasi untuk masa tua, misalnya.

Ketika standar lifestyle naik, otomatis kita akan bekerja lebih keras dan berusaha mendapatkan penghasilan yang lebih besar lagi.

Ini karena pemenuhan kebutuhan lifestyle yang identik dengan tren terkini terasa nggak pernah ada habisnya, mulai dari model baju sampai desain mobil teranyar!

Berbeda ketika fokus kita adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Berapa pun penghasilan yang didapat, kita sadar bahwa ada yang jauh lebih penting untuk dicapai dari sekadar mengikuti tren gaya hidup. Kesadaran ini membuat kita mantap menyisihkan uang lebih banyak—berhemat—untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan utama lain di masa mendatang.

Carline dan Ajeng adalah dua sahabat yang kepribadiannya bertolak belakang sejak SMP, termasuk soal mengelola uang. Carline yang ulet memiliki kedisiplinan cukup tinggi dalam membatasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak esensial. Sedangkan, Ajeng lebih kendor soal pengeluaran karena baginya hidup hanya sekali—dan ia selalu dapat tunjangan dari Papa tiap bulannya.

Seiring dengan bertambahnya penghasilan Carline yang menjalankan usaha party planner dan suaminya yang kerja kantoran, keduanya jadi lebih getol berhemat. Belajar dari pengalaman orang tua masing-masing yang tidak memiliki aset apa pun menjelang hari tua. Sebagian besar dana kini dialihkan ke dalam bentuk investasi, mulai dari kos-kosan sampai saham perusahaan BUMN.

Ajeng yang kini menjadi direktur kreatif di sebuah advertising agency ternama memilih lebih nge-gas bekerja karena Prada kini terlihat so last year dan ia ingin lebih banyak Hermès (nggak cuma tas) menjadi penghuni lemarinya.

Baik Ajeng maupun Carline bisa dikatakan sama-sama sukses dalam bidang yang mereka geluti.

Namun, tujuan merekalah yang membedakan aksi masing-masing dalam mengatur keuangan.

Berapa sih penghasilan total kedua sahabat ini dengan suami masing-masing?

Carline dan suami sebesar 35 juta, sedangkan Ajeng dan suami ternyata 70 juta.

Yang menarik adalah, berapa yang tersisa tiap akhir bulan dari kedua pasangan ini?

Sisa uang Ajeng ternyata nggak pernah lebih dari 5 juta dan itu pun kadang lupa ditabung. Sedangkan, Carline si ratu hemat mampu menyisihkan 15 juta… seluruhnya untuk diinvestasikan!

Gaji Ajeng selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun begitu juga dengan gaya hidupnya. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi di sekitar kita—atau malah pada diri kita sendiri. Penghasilan besar, pengeluaran besar, tetapi tidak dibarengi dengan saving power yang sama besarnya. Alhasil, seiring dengan menurunnya nilai mata uang dan naiknya harga barang—kondisi yang akrab disebut inflasi—aset kita pun kian menyusut. Bukannya bertambah.

Jadi, mau pilih gayanya Carline atau Ajeng?

 

*) Feature image: Madewell Musings



Leave a Comment

  • (will not be published)


3 Responses

    • Dulu juga seperti ini. Gara-gara itu, sekarang siapin dana darurat. Jadi, kalau ada pengeluaran tak terduga, comot dari situ 🙂

  1. Hidup hemat vs boros memang selalu jadi persimpangan pilihan, namun menurut saya adapula yang perlu dikaji lebih dalam ketika memutuskan kehematan itu. Misalnya:
    – Reward kepada diri sudah sesuai belum
    – Konsep investasi benar-benar telah matang
    – Pos untuk pengembangan diri selalu ada.

    Karena kalau hemat tapi meaningless, menurut saya juga belum pas.

    Btw, thanks for the article

    Reply