Kirai bermimpi menarikan Tari Piring di tengah meeting.
Sungguh aneh, pikirnya, masih terbuai di alam bawah sadarnya. Padahal, ini bukanlah tengah malam, melainkan menjelang waktu makan siang—di kantor pula.
“Saya setuju sekali!” Niksoma memukul meja, luapan kegembiraannya atas masukan Suri, anak buah Kirai yang sejak tadi sewot, tidak bisa duduk tenang, lantaran bosnya asyik menghayati tidur siang dengan taruhan nyawa tim mereka. Untungnya, semalam Kirai telah mengumpulkan mereka untuk menilik ulang solusi perbaikan konstruksi bangunan, sehingga Suri tinggal menyuarakannya. Dapat nilai plus pula dari Pak Soma yang terkenal galak.
Gebrakan keras itu spontan membangunkan Kirai, disertai keterkejutan mendapati jalur basah melintang di pipi kanannya.
Kirai menangis dalam mimpinya.
Lagi.
”Rai, Pak Soma pasti marah besar kalau tahu kamu sering ketiduran begini,” Derda memberanikan diri berkomentar. Ia tahu Kirai tidak suka dengan mulut cerewetnya, namun ia juga tidak tega bosnya digempur Managing Director mereka yang mulutnya sepedas cabai keriting. Otomatis semua omelan itu ‘kan larinya ke anak buah. Ke dirinya juga.
”Terima kasih, tapi setelah ini saya juga akan cuti. Kamu urus Soma bareng Suri saja.” Kirai bangkit tak acuh, mendahuluinya tanpa sedikit pun menoleh. ”Tenang saja, komisi sudah di tangan. Klien kita kali ini baik hati. Tim bisa berpesta pora selama saya pergi. Tidak perlu cerita ke Soma.”
Derda menyingkir perlahan tatkala menyadari setitik air mata yang hampir luput dari pandangannya. Ia tertegun. Hatinya terimpit untuk sesaat yang berarti. Sang bos yang biasanya tangguh, kini tengah menyimpan duka tak terjamah. ”Hati-hati di jalan,” bisiknya ditelan suasana ramai.
Sebenarnya, Derda bisa menerka apa penyebabnya. Siapa lagi kalau bukan Eyang Jan, yang sampai kini pun fotonya masih terselip di antara deretan sticky notes meja sang bos yang penuh sesak.
Foto: Nik MacMillan via Unsplash
Sudah sebulan sejak meninggalnya Eyang Jan, namun Kirai belum mampu menjinakkan kekalutan hatinya. Terlebih, ia menemukan jurnal eyang tergeletak di sudut loteng. Kisah penuh kejutan itu dimulai ketika Eyang berusia lebih muda darinya. Di situ terekam fakta bahwa beliau adalah pejuang. Puluhan tahun silam, dengan berani eyang mengibarkan Sang Merah Putih ke puncak Jam Gadang saat Indonesia lumpuh dan pemerintahan dipindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Namun bukan kisah heroik saja yang tertera di situ, melainkan sisi gelap keluarga besar Kirai.
Apa yang selama ini tidak pernah diperbincangkan oleh Ayah, Bunda, juga Eyang Putri yang ayu (dan dulu terkenal dengan sebutan “Noni Belanda’ saking putih kulitnya).
Di antara halaman jurnal, Kirai menemukan berbagai macam kertas usang terselip: sobekan koran lokal Padang, lirik lagu cinta Nat King Cole, sampai secarik surat dengan tulisan tangan indah yang familier di matanya.
Tulisan tangan Eyang Putri.
Namun, isi surat itu tidak semuluk penampilannya. Eyang Putri tampak menegaskan—mengancam—apabila Eyang Jan masih berhubungan dengan sanak saudara di kampung, maka pernikahan akan disudahi sebelum anak pertama mereka—ayahanda Kirai—lahir.
Kirai yang selama ini tidak pernah mengerti siapa dan apa dirinya—dari mana asal sukunya, di mana kampung halamannya—selain sebagai anak Indonesia tulen, mendadak sesak.
Sungguh aneh tetapi nyata cinta yang terjalin antara kakek dan neneknya. Eyang Jan terlalu menyayangi Eyang Putri hingga perkawinan mereka dapat melampaui masa ulang tahun pernikahan emas tanpa cekcok—selalu tampak mesra di depan keluarga, bahkan media—hingga akhirnya Eyang Jan kembali ke hadirat-Nya.
Selama ini, Kirai sebagai wanita Indonesia—wanita Jakarta—yang sangat metropolis baru menyadari bahwa di nadinya ternyata mengalir darah Minang.
Mengetahui fakta baru ini ibarat dapat siraman air dingin di tengah siang yang terik. Namun, tetap saja Kirai tak habis pikir, mengapa Eyang Jan tak pernah mengatakan ini kepadanya?
Kembali ke meja dengan setumpuk dokumen menunggu bubuhan tanda tangan serta beberapa email di layar laptop yang harus dibalas, tak biasanya Kirai masih sempat melamun. Padahal, ia terkenal sebagai sosok yang mampu bikin orang sekitar ketar-ketir dengan etos kerja yang tinggi dan Niksoma tersenyum puas karena apa pun di tangannya pasti beres dalam sekejap.
Diangkatnya gagang telepon sembari membuat kreasi origami burung bangau dari sisa kertas bekas rapat. ”Siang, Ayah. Lebaran tahun ini ada rencana main ke Bukittinggi?”
Terdengar helaan napas panjang di sana. Walau tak melihat, Kirai tahu bahwa beliau terkejut ditembak begitu.
”Kita tidak punya relasi lagi di Bukittinggi. Tidak pernah punya.”
”Mengapa Ayah menutup-nutupi semua ini?” Kirai bertanya lagi, lebih halus.
”Semua sudah lama, Nak,” terdengar Ayah berkata berat. Suaranya jadi lebih tua dari usia sesungguhnya. ”Eyang Putri adalah ningrat—kamu keturunan bangsawan. Eyang Kakung bukan. Perantauan pula. Susah sekali untuk bisa masuk ke keluarga besar Eyang Putri. Untuk benar-benar bisa diterima.”
“Tapi, Eyang Jan seorang cendekia. Pernah jadi pejuang, perupa, lalu terakhir menjadi wakil PBB. Keningratan tidak ada gunanya kalau otak kosong. Aku punya saudara-saudara yang tidak pernah kukenal di seberang sana. Tidakkah Ayah mengerti—”
“Cukup, Kirai.”
Sekelumit bayangan kelam menutupi cahaya mentari dari jendela, membuat Kirai refleks menyudahi percakapan sebelum ia dan Ayah malah beradu mulut.
”Hei… cutimu besok sepertinya belum bisa direalisir,” Niksoma tiba-tiba menyahut. Suaranya seperti biasa datar. Sorot mata lelaki ini secara jelas mengisyaratkan dirinya tak ingin dibantah.
Kirai hanya melengos.
“Dan tolong katakan pada, ngg, eyang putrimu untuk berhenti menelepon ke kantor gara-gara cucunya kabur dari rumah beliau. Tolong jaga sikap profesionalmu untuk tidak membawa urusan pribadi ke sini.”
Kirai siap mendebatnya ketika menyadari laki-laki ini sudah berbalik badan sambil melayani percakapan baru di ponselnya.
Dasar Soma robot! Mana tahu rasanya jadi orang dengan masalah orang kebanyakan. Kirai menggigit bibir, kesal.
Ia layak rehat sejenak setelah tiga tahun bekerja di perusahaan tanpa sekali pun menggunakan jatah cutinya. Karena hal itu jugalah momen yang seharusnya bisa dihabiskan bersama Eyang Jan justru hilang dan tak mungkin kembali.
Lantaran tak berdaya, Kirai merasa tak cukup hanya menggerutu. Ia memiliki pembenaran untuk menyalahkan Soma sebagai bos bertangan besi yang berperan terhadap segala ketidakberesan di dalam hidupnya.
Setelah menimbang cepat, Kirai pun nekat melakukan sesuatu yang dapat menggesernya jadi kandidat Employee of the Year tahun ini, yakni bolos kerja.
Kirai akan plesiran ke Pulau Sumatera, terbang besok pagi, karena ia yakin pada Lebaran tahun ini pun tak mungkin dirayakan bareng orang-orang yang ingin dirangkulnya sebagai saudara.
—
Berbekal jurnal Eyang, satu tas bepergian ukuran besar, dan sebuah kerudung sutra, Kirai terbang ke Bandara Internasional Minangkabau sepagi mungkin.
Semua rasa bercampur jadi satu ketika pertama kali mengangkat kaki keluar dari pesawat. Sedih, haru, gembira, sampai asing.
Atau mungkin, terasing.
Kirai merasa daerah ini pernah menjadi masa lalunya walau masih kalah pamor dari keangkuhan Jakarta yang lebih lekat dengan hidupnya.
Hal pertama yang ingin Kirai lakukan adalah mencari informasi tentang Eyang Jan di Pusat Dokumentasi Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padangpanjang.
Lucunya, ketika Kirai menanyakan petugas pustaka tentang seseorang bernama Marah Sajana, si petugas langsung bercerita penuh semangat disertai penggambaran yang ekspresif dengan kedua tangannya.
Ternyata si petugas berkumis tebal ini masih ada hubungan keluarga dengan Eyang Jan!
”Pak Sajana bukan cuma terkenal di sini, melainkan sampai ke Radio BBC. Adik ini kerabatnya?” Pak Rasuna, petugas pustaka, bertutur dalam dialek Minang yang kental. Fenomena yang jarang Kirai temui kecuali kalau ia sedang makan di Tanjung Marapi, Rumah Makan Padang kesukaannya di Jakarta.
Foto: Arijalu Kawwamunaalannisa via Unsplash
”Saya… cucunya.”
Jawaban pelan Kirai membuat Pak Rasuna diam seribu bahasa. Sekilas, pak tua ini terlihat kehilangan warna mukanya.
”Pasti baru sekali ini ke Sumatera Barat, ya?” Pak Rasuna mengeluarkan setumpuk buku tebal yang sebagian besar sudah lapuk ke atas meja berdebu itu. Beberapa dokumen dan profil Eyang Jan tercampur dengan berkas Abdul Muis dan Chairil Anwar karena ketiga orang itu bergerak di bidang yang sama.
Kirai mengangguk dengan ekspresi hampa.
“Adik tahu kalau kampung Pak Sajana ada di atas?” tanya Pak Rasuna lagi. Sorot matanya menyelidik, namun jenaka. Senyumnya tampak hangat walau garis wajahnya tegas. Khas Sumatera.
Sejenak, Kirai merasa dirinya memiliki garis wajah serupa.
”Di atas?” Kirai murni bingung menelaah maksudnya. Ia bersyukur Pak Rasuna tidak berkata-kata dalam rangkaian pantun Melayu. Ia mengakui dirinya bodoh jika harus berurusan dengan seni rupa.
”Namanya juga Bukittinggi, Dik. Karena ‘kan ada di dataran tinggi. Desa asal Pak Sajana itu yang hawanya dingin dan suasananya asri.”
Manik mata Kirai langsung berbinar cerah. ”Jadi, desa itu masih ada, Pak? Saudara-saudara Eyang Jan masih tinggal di sana?”
”Sudah banyak yang merantau, Dik. Ada yang ke Negeri Sembilan, tapi paling banyak ke Jakarta. Namun yang bawa ilmu kembali untuk jadi pemuka nagari[1] sangat sedikit. Oleh karena itu, keluarga besar di Bukittinggi kini semakin susah hidupnya, ditambah melambungnya harga akibat banjir yang sempat melanda Padang.”
Hati Kirai bagai tersayat pisau.
Eyang Jan tidak pernah bisa kembali ke sini untuk membantu sanak-saudaranya. Bahagiakah kakeknya selama hidup di Jakarta?
“Adik benar cucunya Pak Marah Sajana? Kok, manggilnya Eyang, bukannya Ungku[2]?” Pak Rasuna meneliti sosok gadis ini.
Kirai mengangguk. “Ceritanya panjang.”
Pak Rasuna dan Uda[3] Zaid, putra bungsunya, berbaik hati mengantar Kirai ke daerah yang disanyilir sebagai kampung asal Eyang Jan.
Hati Kirai berdegup keras tiap kali melewati titik-titik bersejarah sesuai cerita yang dipaparkan di jurnal Eyang secara apik dan terperinci.
Jam Gadang tampak semakin jelas dalam pandangan. Kirai membayangkan patriotisme Eyang dan kelompok pemuda Bukittinggi yang tak gentar dihadang ratusan tentara Jepang dalam melakukan aksi yang terekam sejarah dan diceritakan ulang di Radio BBC Inggris kala itu.
Selama ini, peristiwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia hanyalah secuil memori remeh yang singgah dan pergi seiring dengan pelajaran Sejarah semasa Kirai bersekolah. Ia tidak pernah menyangka salah satu pelakonnya adalah sang kakek tercinta.
Sesampainya di perkampungan yang terbentang di hadapan mereka, air mata Kirai spontan meleleh. Rasa kangen kepada sosok asli Eyang Marah Sajana, pada satu akar budaya yang hilang dalam kalbunya, menyeruak ke permukaan.
Hilang sosok Kirai si manajer cerdas, lincah, dan tanpa ampun yang selama ini menghuni gedung pencakar langit di jantung ibukota.
Yang tampak hanya Kirai si anak hilang yang gamang karena baru menemukan kompas hidupnya kembali.
Selama hidupnya, tak pernah sekali pun terucap tentang keindahan Ngarai Sianok atau sibuknya pelabuhan laut di Teluk Bayur, padahal Kirai selalu menunggu-nunggu momen Eyang Jan mendongeng saat menginap di rumah beliau.
Pak Rasuna dengan sabar menunggu Kirai yang masih duduk bersimpuh di lantai ubin yang kian dingin. Senja sebentar lagi menjemput dan suhu dataran tinggi pun berangsur turun.
”Rumah ini sudah lama tidak ditempati. Buku-buku Pak Sajana banyak disimpan di situ.” Pak Rasuna menunjuk ke arah lemari besar yang terselimuti kain songket antik warna lila. ”Rumah Gadang aslinya sudah dirubuhkan untuk pemekaran prasarana. Mau saya hubungi Uda Karim saja? Dia sedang bertugas di kota, namun bisa dia bantu Adik mengumpulkan sisa keluarga Pak Sajana.”
”Terima kasih, Bapak dan Uda bahkan sudah melakukan banyak untuk saya.” Kirai menegaskan dirinya untuk berhenti bersikap cengeng, mentang-mentang ia sedang tidak’bertempur’ di kantor. ”Kapan terakhir Eyang Jan ke sini?”
”Sepuluh tahun yang lalu ketika upacara Tanah Ta Sirah[4]. Salah satu kerabat ada yang diangkat jadi Datuk dan Pak Sajana mewakili keluarganya. ‘Dik tidak tahu?”
Kirai menggeleng lemah. Kalau tahu, ia pasti sudah merengek kepada Eyang, minta diajak ikut.
Segelas teh hangat tersuguh di meja kecil di depan Kirai. Zaid tersenyum seraya mempersilakannya. ”Jangan sedih, Uni[5]. Tak semua orang meninggalkan sini. Masih ada yang suka datang sambil bantu-bantu. Tiap Hari Rayo, ia pasti kemari bawa baju, makanan, juga uang. Sepertinya hubungan orang itu dekat dengan Pak Sajana.”
Wajah kusut Kirai spontan terangkat. Ekspresinya berubah penuh pengharapan. ”Oh ya? Perantauan juga?”
”Perantauan. Lebih muda sedikit dari Zaid,” Pak Rasuna berusaha mengingat-ingat deskripsi yang paling mendekati orang yang dimaksud. ”Sepantaranmu, lah, Dik. Namanya—”
”Kalau ada pegawai bandel yang bolos—mau itu manajer paling pintar sekali pun—harusnya dapat peringatan keras. Dasar perusahaan asing lembek!”
Foto via Pinterest
Kirai pun terlonjak mendengar suara akrab tersebut. Refleks, dirinya kembali waspada. Enggan berlarut-larut dalam suasana melankolis lebih lama lagi.
”Soma?”
Melihat perubahan sikap itu, Zaid pun bengong.
”Panggil saya Pak, ya.” Niksoma mengoreksi. Sebelum Kirai bereaksi lebih dramatis, lelaki ini melanjutkan ucapannya,“Ungku Jan juga kakekku, walau bukan kerabat langsung. Mengenai banyaknya kerabat yang hijrah ke Jakarta, itu karena tiga tahun belakangan ini aku membuka lapangan kerja untuk mereka, selain kerja sebagai corporate slave seperti dirimu.”
“Oh ya? Di mana?”
“Rumah Makan Padang terenak kesukaanmu,” Niksoma mengerlingkan mata.
“Tanjung Marapi?”
“Memang ada lagi yang lain?” Soma mengangkat dagu, belagu. “Ungku yakin, walau beliau meninggal, nanti akan ada yang meneruskan amanah untuk memelihara keluarga besar di sini.”
“Kita berdua?” Kirai masih terlalu kelu untuk berbicara banyak.
Niksoma mengangguk mantap. Ia melayangkan pandangannya ke langit lembayung senja yang perlahan diliputi kabut. “Dan sebagai informasi, beliau bahagia, Kirai.”
“Tidak mungkin,” tukas Kirai dengan gestur keras kepala.
“Kalau kebahagiaan anak kecil seperti yang kau bayangkan—semringah lantaran dapat es krim—mungkin tidak. Tetapi, sebuah kepuasan batin karena mampu menjaga semua aspek kehidupan harmonis, maka Ungku telah mencapainya.”
Kirai tidak tahu harus mulai dari mana untuk berbicara secara logis dengan si direktur. Yang jelas, ia lega.
“Toh, saya berusaha selalu ada untuk beliau ‘kan?”
“Sekarang kamu tidak sendirian lagi melakukan itu, Soma,” ujar Kirai, tersenyum lebar.
“Pak Soma, maksudmu.” Soma pura-pura merespons judes.
Kirai tertawa kecil, dan berhenti kala teringat sesuatu. “Satu lagi, aku ingin belajar Tari Piring. Kira-kira masih bisa atau tidak ya dengan umurku ini?”
“Tentu bisa,” Niksoma menatapinya heran sekaligus yakin,“budaya Minang ‘kan memang mengalir di darahmu.” ****
Feature image: Andhyka Widariyanto via Unsplash
Rujukan endnotes:
[1] Negeri; Kampung halaman
[2] Kakek
[3] Kakak (laki-laki)
[4] Upacara pelantikan seseorang yang dituakan menjadi Datuk beberapa jam setelah pendahulunya meninggal
[5] Kakak (perempuan)
Berpikir keras, pernah baca dimana nama Niksoma. Ternyata nama anak Inez & Niki 😂
Kirain Niksoma Zakrie, Kaaak
Kirain anaknya niki inez, pertama kali baca langsung anaknya 😀
Niksoma? Inez & Niki’s child? omg 😍
Bukaaan 😅 kebetulan namanya sama