Butuh keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Saat sedang sendiri dan mencoba menelusuri perasaan lebih dalam, kita merasa tahu apa yang selama ini diinginkan.
Kita juga lebih paham identitas, harapan, serta keterbatasan diri yang sebelumnya luput dari perhatian.
Tak hanya itu, jauh di lubuk hati, kita sadar bahwa inilah diri kita apa adanya… dan seperti inilah kita mesti tampil ke luar.
Itulah niatan mulia—dan ideal—yang muncul dari hati nurani.
Proses seperti itu disebut refleksi diri dan refleksi ternyata memiliki banyak manfaat positif.
Refleksi membuat kita jadi tahu apa yang selama ini diinginkan, serta jadi lebih mengenal diri sendiri.
Sayangnya, begitu proses refleksi selesai, sirna juga nyali yang selama ini terkumpul.
Begitu keluar rumah dan berbaur dengan berbagai macam orang—di kantor, di sekolah anak-anak, di gym, di antara sahabat, di tengah para jet set maupun komunitas relawan—kita jadi tidak setegas itu dalam bersikap.
Sering kali kita menyesuaikan cara bersikap dengan lingkungan yang kita hadapi dan malah kehilangan jati diri sesungguhnya.
Miura pernah mengalami hal serupa.
Pada dasarnya ia adalah pribadi yang cukup tegas, namun fleksibel. Suatu waktu, Miura yang baru memulai first job setelah lulus kuliah tidak sependapat dengan bosnya saat rapat mingguan di divisinya berlangsung. Ia sendiri merasa enteng saja dengan perbedaan pendapat seperti ini; toh hal seperti ini lumrah terjadi di keluarganya.
Sayangnya, bos Miura yang 8 tahun lebih tua darinya tidak sependapat. Sikap Miura saat meeting dinilai seperti “anak durhaka” dan bos tersebut tanpa sungkan menyindirnya sebagai millenial tak tahu diri. Padahal, sejak awal Miura berusaha menyampaikan maksudnya dengan cara sopan.
Melihat reaksi bosnya yang tak hanya heboh di ruang rapat, tapi sampai enggan menyapanya ketika bertemu di kafetaria, Miura pun merenungkan kembali tindakannya, serta bagaimana ia harus bersikap ke depannya.
Dalam norma ketimuran, menjadi diri sendiri dan bersikap apa adanya bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Kejadian yang menimpa Miura hanya satu dari sekian banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Cara Memperbaiki Diri Dimulai dari 3 Langkah Sederhana Ini
Dalam karier dan bisnis, berani menjadi diri sendiri kerap dijadikan momok atau penghambat kesuksesan seseorang.
Padahal, hal ini tentu tidak benar. Karena, pada dasarnya tiap orang merupakan pribadi yang unik dan layak diterima apa adanya, seutuhnya.
Menjadi diri sendiri bukannya berhenti mengembangkan diri, melainkan selalu berusaha menjadi versi terbaik diri kita.
Jadi, apakah menjadi diri kita apa adanya mampu menjadikan kita sukses dan berprestasi dalam hidup?
Ya, asal kita siap mencapai kesuksesan melalui proses berliku sebagai konsekuensi mempertahankan jati diri sesungguhnya.
Lantas, apa saja yang bisa diupayakan agar kita bisa menjadi diri kita dan tetap mencetak prestasi signifikan?
1. Terima diri
Kita sadar apa saja kelebihan dan kekurangan selama ini. Namun, kadang kita berusaha terlalu keras untuk meminimalisir kekurangan yang jatuhnya malah menyiksa diri. Yuk, bersikap lebih lembut dengan menerima diri “satu paket”, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
2. Jangan bandingkan dengan kehidupan medsos
Terlalu sering menyelami kehidupan orang lain di media sosial membuat kita tanpa sadar bercermin terhadap hal-hal yang dilakukan sosok tersebut. Jangan sampai kita merasa kurang puas, atau bahkan, kehilangan jati diri akibat kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, terutama yang dicitrakan pada medsos.
3. Set boundaries
Beri kesempatan diri untuk mendapatkan hak, menyuarakan pendapat, dan menentukan sikap dengan menentukan batasan jelas atau boudaries dengan orang lain, bahkan keluarga. Egois? Sama sekali tidak.
4. Kendalikan pikiran negatif
Menjadi diri apa adanya bukan berarti membiarkan pikiran dikuasai emosi negatif. Pemikiran negatif seperti ini bisa saja tentang diri kita, orang lain, maupun keadaan yang tidak enak. Dengan mengendalikannya, kita berkesempatan menjadi diri yang lebih baik lagi.
5. Hargai perbedaan
Karena kita memahami keunikan diri dan berharap hal tersebut dihargai, otomatis kita akan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Dengan kata lain, memperlakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan. Yep, that simple!
6. Pandai membaca situasi
Menjadi diri sendiri bukan berarti saklek tanpa kompromi. Jadilah sosok yang berprinsip soal tujuan yang hendak dicapai, namun fleksibel dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan begitu, kita nggak asal main tabrak dan selalu berusaha memahami keadaan sekitar—persis seperti yang Miura lakukan setelah konfrontasi dengan bosnya.
7. Hindari sikap ingin menyenangkan semua orang
Ini erat kaitannya dengan membuat batasan atau set the boundaries. Kita tentu tidak bisa memuaskan semua pihak, apalagi untuk menghindari konflik. Ketika kita membiarkan ini terjadi, perlahan-lahan kita akan kehilangan jati diri sesungguhnya!
8. Terus kembangkan potensi
In short, always aim to be the better version of ourselves! 😍
Kita diciptakan dengan keunikan masing-masing. Namun, nyatanya butuh waktu bagi diri sendiri untuk bisa menerima keunikan tersebut!
Oleh karena itu, upaya untuk menerima dan menjadi diri seutuhnya merupakan sebuah proses yang bergulir dan tidak bisa terjadi secara instan, apalagi jika kita memiliki trauma soal penerimaan diri di masa lalu.
Ingatlah selalu bahwa tak ada yang lebih bermakna selain menjalani hidup sebagai kita sendiri, bukannya orang lain.
Pernahkah kamu merasa dirimu tidak sebagus itu hingga ingin menjadi sosok lain?
Apa saja upayamu demi memahami dan menerima diri lebih baik lagi?
*) Feature image: @maryljean
Paling setuju dengan poin 7 mbak. Sering kali saat saya upload karya fotografi di media sosial, rasanya seperti ada yang kurang dibandingkan karya orang lain yang sepertinya sempurna. Memang tidak ada hate comment, tapi struggling untuk sama dengan orang lain agar bisa mendapat apresiasi yang lebih itu terkadang masih ada mbak. heheehe