Hidup mandiri. Memangnya perlu ya?
Di saat kehidupan sehari-hari kita sudah enak dan nyaman dalam tanggungan orang tua, hidup mandiri bukanlah sesuatu yang akan terlintas di kepala. Apalagi mau capek-capek kita upayakan.
Masalahnya, buat apa?
Toh selama ini “everybody’s happy” dengan kita tinggal bersama keluarga terdekat dan keluarga jadi nggak kesepian dengan kehadiran kita.
Sayangnya, kehidupan ideal seperti itu tidak berlangsung selamanya.
Akan tiba momen yang membuat kita, mau tidak mau, harus hidup di atas kaki kita sendiri—bahkan sambil menyantuni orang lain.
Ini dialami langsung oleh teman saya, Rifka.
Setelah lulus kuliah, Rifka nggak pengen langsung nge-gas kerja. Karena lulus dengan nilai baik, Rifka pun dapat hadiah cash dari mama-papa yang langsung dipake buat keliling Aussie. Tak disangka, papa Rifka meninggal saat ia baru kembali dari liburan. Aset orangtuanya habis untuk melunasi utang yang beliau tinggalkan, padahal adik Rifka baru mulai kuliah.
Rifka menjadi mandiri karena desakan keadaan. Ia yang tadinya mau perpanjang hari penuh leyeh-leyehnya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat jadi kerja keras demi memenuhi kebutuhan mama, adik, dirinya, serta biaya kuliah adiknya. Hari-hari yang tadinya super-comfy, kalau nggak bisa dibilang hedon—tiap hari tinggal beli Starbucks di pertigaan depan rumah—kini berubah menjadi jalan berliku yang penuh kerikil.
Butuh waktu yang amat lama bagi Rifka untuk bisa menjajaki fase ini tanpa mengusap air mata lagi.
Pembelajaran demi bisa hidup mandiri tak hanya menguras tenaga, namun juga emosi.
A painful process that helps her grow.
Hasilnya sekarang?
Rifka jadi lebih mengapresiasi kehidupan walau tidak mengenyam kemewahan seperti dulu.
Tiap lembar uang yang dikumpulkan dengan jerih-payahnya terasa berharga. Kebersamaan yang dialami berasa mama dan adiknya terasa lebih bermakna walau kini liburan terjauh mereka hanya ke Bali.
Baca juga: Yang Penting Bukan yang Dipajang di Instagram
Di awal usia 30-an, Rifka bertemu teman masa kecilnya, Genta, yang kini tengah bersiap ditempatkan untuk sebuah proyek fintech di San Francisco. Dengan Genta memang tidak membuat Rifka social butterfly yang menghiasi majalah-majalah high-end seperti ketika ia bersama Agri kekasihnya dulu. Tapi, Rifka kini jauuuh lebih tentram. Melihat adiknya kini sudah lulus kuliah dan dapat kerjaan—mandiri pada akhirnya—Rifka pun menerima lamaran Genta dan ikut terbang ke SF juga.
Menjadi mandiri merupakan kebiasaan
Semanja, sesantai apa pun kehidupan kita, pasti akan ada kejadian besar—sebuah titik balik—yang menggerakkan keputusan kita selanjutnya: to be better or bitter. Pilihan tersebut sepenuhnya kembali kepada kita.
Ada orang yang butuh trigger untuk menjadi mandiri seperti Rifka, namun ada juga yang bisa karena hal tersebut ditumbuhkan sejak kecil .
Oleh karena itu, menjadi mandiri sangat mungkin terwujud dengan kebiasaan.
Kita yang awalnya selalu tergantung dan serba menuntut, perlahan-lahan bisa kok mengubah itu dimulai dengan bertanya ke diri sendiri: “How can I grow?”
Pertanyaan sederhana yang sarat tantangan, namun tidak congkak.
Tiap tantangan membuat kita “ngos-ngosan”, jungkir-balik, dan akhirnya tumbuh. Maka itu, tak heran jika kemandirian merupakan salah satu tolok ukur kematangan seseorang.
Hidup mandiri banyak manfaatnya
Sebelum bicara lebih jauh, jangan artikan kemandirian sebagai gestur “tidak butuh bantuan siapa-siapa”, apalagi dijadikan alasan untuk boleh bersikap sombong.
Mandiri yang berarti mampu mengurus diri sendiri ternyata mendatangkan segudang manfaat ketika dijadikan cara hidup:
- Memberdayakan diri secara maksimal
- Memantapkan self-worth dan rasa percaya diri
- Memiliki mentalitas yang tidak mudah menyerah
- Tidak mudah mengemis pertolongan
- Melatih kesabaran secara berkelanjutan
- Membentuk pribadi tangguh, terutama saat diterpa kesulitan
Saya selalu mengingatkan ke anak-anak,”Bantu diri kalian. Dengan begitu, kalian mampu membantu yang lain.”
Ini adalah acara saya mengingatkan mereka untuk jadikan diri berdaya. Mandiri, sesuai kemampuan masing-masing.
Nah, karena menjadi mandiri tidak bisa dilakukan dalam waktu semalam, ini yang bisa kita lakukan untuk memulainya:
1. Pakai uang sendiri untuk penuhi kebutuhan dan keinginan
Ini terutama bagi yang sudah memiliki penghasilan sendiri. Mentang-mentang masih tinggal dengan orang tua, kita tutup mata aja saat tagihan listrik dan internet muncul. Padahal, bisa ‘kan kita coba meng-cover beberapa penghasilan rumah tangga?
2. Keluar dari rumah orang tua
Bisa dengan ngekos, ngontrak, atau beli rumah sendiri. Walau kebutuhan sehari-hari kita dengan orang tua tidak jauh berbeda, akan terasa deh bedanya saat kita tinggal sendiri. Yang biasanya nggak pusing soal sarapan, makan siang, dan makan malam, kini harus alert dan siap rencanakan semua itu.
3. Atur keuangan sendiri
Bikin rekening bank atas namamu dan terus berlatih untuk mengelola uangmu sendiri. Uang habis di luar rencana? Eitt! Jangan langsung minta ke orang tua. Coba kendalikan keinginanmu dan kumpulkan kembali uangmu perlahan-lahan.
4. Lebih sering bepergian sendiri
Ini cara ampuh untuk mengatasi ketakutan dan ketidaknyamanan saya menapaki tempat baru. Awalnya memang bikin panas-dingin, tapi lama-lama kita akan terbiasa, kok!
5. Proaktif menawarkan bantuan
Menolong orang lain, atau sesimpel berkontribusi terhadap sesuatu di luar diri kita, terbukti menjadikan pribadi lebih matang dan mandiri. Mau nggak mau, kita jadi terlatih untuk mengurus diri sendiri dulu sebelum melakukan hal-hal di luar urusan kita.
Apakah kamu sudah mencoba untuk hidup mandiri?
Apa saja yang sudah dilakukan agar konsisten menjalani ini?
*) Feature image via House & Home
3 Responses