Cuplikan cerita MAGICAL SEIRA: SAND CASTLE


ms-sandcastleKali ini bersama seorang Hanafiah.

Lho, kok ada Hanafiah?

Ya, pada novella Magical Seira: Sand Castle yang akan segera terbit, Seira dan Abel akan bertemu tokoh baru yang ternyata tidak begitu asing di mata mereka.

Dan saya baru ingat sampai kini belum juga post cuplikan ceritanya… So sorry, guys!

Seperti yang kalian ketahui, pada cerita sisipan serial Magical Seira ini akan muncul seorang tokoh Hanafiah yang sudah kalian baca cerpennya, yaitu Sirine (yup, it’s free and you can read it here).

More about Chiko Hanafiah? Go to this excerpt:

Prolog

 

Pagi hari, di tengah awan

Cokro diego hanafiah—chiko—menyelesaikan sarapannya, santai, tak bersuara, seolah tengah menghayati pemandangan di luar jendela pesawat: gugusan awan membaur dengan sinar mentari seperti cahaya lilin tengah menyeruak kegelapan.

Namun kenyataannya tidak. Visualisasi itu, juga kenyamanan yang mengelilinginya saat ini—tempat duduk lapang dengan jok kulit, meja lebar di depannya yang penuh sesak dengan hidangan khas Indonesia, Amerika, dan Perancis, sebuah rak berisi media cetak terbaru dari belahan dunia yang tak pernah disentuhnya, serta TV plasma yang menyajikan Supernatural secara marathon; semua pada ketinggian puluhan ribu kaki di atas permukaan tanah—hanyalah sepenggal rutinitas dalam kehidupannya.

Chiko bukanlah laki-laki delapan belas tahun kebanyakan, bahkan untuk potongan New York, tempat yang akan dikunjunginya kini. Hampir sembilan belas jam berada di langit, mempelajari setumpuk kontrak tebal dengan klausal-klausal yang istilahnya terasa asing di telinga membuatnya enggan bertemu Taba Hanafiah, kakak sepupu yang sudah lebih dulu tiba di sana. Chiko berharap perjalanan ke New York kali ini bisa seseru pesta tahun baru; tidak hanya ramai oleh kembang api tapi juga seluruh keluarga besar yang ikut eksodus ke sekitar Tribeca.

Meninggalkan Jakarta di saat kehidupan kuliahnya baru saja dimulai sebenarnya pelarian yang mengasyikan bagi Chiko.

Hari-hari bulan Juni dan Julinya di Nikki Beach, St. Tropez, masih jelas dalam ingatan; pasir, debur ombak, dan champagne di bawah matahari, ingin sekali ia mengulang semua itu apabila ayahnya tidak memaksa dirinya untuk segera terlibat dalam Hanafiah Group dengan menunjuk Taba sebagai mentor terpilih.

Dilihatnya kembali pakaian yang melekat di tubuhnya saat ini; kaos NBA Lakers hitam ditumpuk sweater abu-abu dan jeans belel. Ia masih nyaman dengan itu, tak berniat menggantinya walau sederet setelan jas dan tiga pasang sepatu loafer sudah siap di lemari.

Tiga minggu business trip di New York setelah itu dilanjutkan dengan acara Voices of Jakarta Annual Gala di—hmm, di mana lagi kalau bukan rumahnya karena host dari malam pengumpulan dana tersebut tak lain adalah ibunya sendiri.

Hmm, acara resmi lagi, pikir Chiko. Berarti ada kesempatan baru untuk mengajak sahabat-sahabatnya—Abeng, Saura, dan Amitya—bergabung juga. Ia selalu merasa lengkap apabila dikelilingi mereka, lingkaran kedua terpenting dalam hidupnya selain keluarga. Tapi…

“Pesta cuma bareng sahabat? Nggak seru bangetlah, Chik. You party to get dirty. Prove me you’re Chiko the Chick Magnet.

Mendadak Chiko teringat perkataan sepupunya, Reno Hanafiah, yang ia yakini sebenarnya memiliki cap playbloy sebagai nama tengahnya. Ia selalu merasa tertantang saat Reno berbicara seperti itu.

“You’re not the only one.” Sebelah mata Chiko terpicing, sebenarnya merasa tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

“I am ‘til now.” Perkataan penuh percaya diri Reno terdengar semagis mantra walau itu dilisankan sambil memijak tangga keluar dari kolam renang, baru menyelesaikan sepuluh putaran gaya kupu-kupu tanpa henti. Rekor seperti ini saja belum bisa ia kalahkan. Ingin rasanya memiliki sesuatu yang lebih dari Chiko.

Chiko kehabisan kata, merasa pernyataan si sepupu lebih dari sembilan puluh persen benar adanya.

“You’re not the only one.” Karena terpojok, Chiko malah mengulangi ucapan yang sama. Lebih terbata dari sebelumnya pula.

“Don’t talk. Show.”

Chiko tersenyum mengerti. Sepertinya tidak kalah seru apabila pesta nanti tidak dirayakan bersama para sahabatnya. Ia akan bertemu seseorang yang baru dan memulai pengalaman baru. Ia akan  tunjukkan pada Reno bahwa dirinya juga lelaki sejati.

Suara co-pilot tiba-tiba terdengar di kabin.

“We got strange appearance outside. A storm in this… sunny day?”

Nada panik itu langsung menginterupsi pikiran Chiko yang tengah mengembara. Lembaran percakapannya dengan Reno serta-merta tertutup kembali.

Berikutnya terdengar suara sang pilot. Kali ini lebih tenang, namun tetap sama bingungnya.

“A vortex—sand vortex! We have emergency situation in—AAARGH!”

Bersamaan teriakan itu, pesawat oleng dan seluruh kabin dipenuhi pasir yang membuat Chiko tak mampu melihat dan bernapas pada saat bersamaan.

Chiko benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi. Saat ia berusaha membuka mata dan memaksa logikanya membaca situasi, hanya dua hal yang muncul di kepala: pertama, ia harus segera membebaskan diri dari himpitan pasir ini apabila ingin tubuhnya tetap utuh. Yang kedua, sepertinya pesawat jatuh menukik dalam kecepatan tinggi karena ia dapat merasakan sensasi menggelitik yang sama seperti saat melakukan bungee jumping  di Bali—dan saat ini ia masih terperangkap di dalamnya.

—-

Seperti yang sudah kalian baca, kali ini Seira akan bertemu dengan Hanafiah.

Penasaran dengan ceritanya?

Pastikan beli bukunya sebelum kehabisan, dan ceritakan pendapatmu setelahnya, ya! 😀

 

*) Feature image: Sitta Karina



Leave a Comment

  • (will not be published)


2 Responses