Cerita Motivasi Kerja Penyemangat Harimu


Blog Sitta Karina - Cerita Motivasi KerjaCerita motivasi kerja untuk harimu yang berat.

Shana paling tidak suka hari Senin.

Mesti ke kantor, ngojek sambil macet-macetan, kerjaan lagi superpadat, dan harus “akal-akalin” untuk bisa pulang tepat jam lima demi mengantar Mama untuk rehabilitasi rutin pasca penyakit stroke.

Bukannya kantor Shana nggak mengerti. Sebulan, dua bulan, mereka masih memberikan toleransi. Tapi, ini sudah memasuki bulan keempat. Dengan posisi Shana yang baru saja naik setengah tahun yang lalu, izin pulang cepat tiga kali dalam seminggu dirasa berat.

Shana suka dengan perusahaan tempatnya bekerja. Bayangkan, ia bergabung di Bliss & Hunter, perusahaan consumer goods multinasional yang amat bergengsi—dan satu-satunya dari almamater yang berhasil diterima kerja di situ!

Tapi, itu dulu.

Kini Shana tak lagi bekerja di Bliss & Hunter maupun perusahaan high-performing sejenis. Ia tak enak harus bermanuver terus-menerus, sedangkan Mama tak ingin diurus oleh perawat sewaan. Mama hanya mau disentuh oleh dirinya dan Bik Umah, pembantu yang sudah ikut keluarganya sejak Shana masih duduk di bangku SD.

Shana memberanikan diri bergabung dengan startup yang waktu kerjanya lebih fleksibel, walau benefit yang didapat tidak sekinclong B&H.

Sukses berkarier jadi prioritas kesekian; yang penting Mama tetap bersemangat menjalani hidup.

Satu hal yang nggak disangka-sangkanya: kenapa jam kerja fleksibel malah diartikan ia mesti di depan laptop terus, termasuk pas weekend?!

Kondisi work-life balance Shana malah semakin jauh dari ideal dan ini membuatnya hampir mengutuk kehidupan, sampai suatu waktu Mama—yang kosa katanya masih sangat terbatas—tiba-tiba bergumam,”Dukuh…”

Shana langsung paham. Mama ingin buah dukuh yang sangat digemarinya!

Menurut Bik Umah, ada penjual buah keliling yang biasa lewat di depan tiap sore. Ia selalu membawa dua jenis buah, yakni pisang dan satunya lagi berupa buah yang sedang musim saat itu.

Tak perlu menunggu lama, si penjual buah pun melintas di depan pagar.

Shana yang ber-legging dan kaos longgar masih asyik dengan ponselnya ketika mendengar suara serak dari balik pagar,”Buah, Neng…”

Baca juga: 8 Cara Menjadi Diri Sendiri dan Tetap Berprestasi

Menyadari yang memanggilnya adalah sosok yang sudah renta dengan pikulan buah-buahan di bahu yang terlihat berat, refleks Shana lari tergopoh-gopoh.

Ia sama sekali tak menyangka si penjual setua itu, mengingatkannya kepada almarhum Kakek yang beberapa tahun lalu masih memancing ikan mujair bersama di kolam belakang rumahnya.

Penjual tua ini mengenalkan dirinya sebagai Pak Toha seraya berteriak-teriak karena pendengarannya sudah kurang baik.

Penasaran melihat tubuh bungkuk sosok ini, Shana pun tak tahan untuk tidak membombardirnya dengan berbagai pertanyaan, mulai dari berapa usia Pak Toha? Berapa kali ia berjualan dalam seminggu? Dengan siapa Pak Toha tinggal selama ini?

Jawabannya membuat dada Shana kontan sesak. Penjual buah dengan air muka cerah ini tidak terlalu ingat berapa usia pastinya. Mungkin sekitar 80an. Ia berjalan kaki sejauh delapan sampai sepuluh kilometer demi melariskan dagangannya.

Bilik kontrakan tempat Pak Toha tinggal masih satu kelurahan dengan rumah Mama. Tepatnya, di kampung yang jaraknya empat blok dari sini. Tak hanya Pak Toha tinggal sendirian di situ, ia juga kerap menunggak pembayaran kontrakannya.

Shana mendengar kisah Pak Toha dengan seksama, seperti halnya menyimak bahasan penting saat rapat via conference call tadi pagi.

Pak Toha bersiap pulang kampung saat Lebaran dan tidak kembali ke ibukota lagi karena ingin bercocok tanam di sana. Istrinya yang tinggal di situ, sibuk mengurus cicit-cicit, berharap mendapatkan uang cukup tahun ini untuk modal bertani mereka.

“Berapa modal yang dibutuhkan, Pak?”

“Setahun ini bisa ngumpulin delapan ratus ribulah. Masih kurang lima ratus lagi.”

Setahun kerja cuma dapat segitu? Luluhlah hati Shana mendengar ini.

“Balik ke kampung malah tetap kerja, Pak?” perlahan Shana mengantongi ponsel, entah kenapa malu memainkan itu di depan Pak Toha.

“Kalau nggak kerja, gimana dapat nafkahnya, Neng? Jadi, mesti semangat kerjanya. Berapa pun dapetnya ya disyukuri.”

Pak Toha sama sekali tak terlihat sedih saat melisankan itu. Senyuman lebar yang memperlihatkan sederet gigi ompong menghiasi wajahnya.

Seketika kalbu Shana tertohok. Selama ini ia merasa menjadi orang yang hidupnya paling nggak enak, paling lelah sedunia. Namun, di depannya berdiri sosok keriput yang justru jauh lebih tangguh.

“Terima kasih ya, Pak,” bisik Shana menahan air mata.

“Lho, Neng… saya yang makasih. Ini dukuh dan pisang diborong semua.”

“Beneran, Pak. Saya yang mestinya makasih.”

Sejak hari itu Shana jadi pelanggan setia Pak Toha. Tak hanya untuk melariskan dagangannya, ia melakukan ini demi memastikan si penjual buah selalu melintas di depan rumah—selalu sehat walafiat di usia senjanya.

Berkat Shana, pembayaran kontrakan Pak Toha menjadi lancar dan Lebaran kali ini ia mampu membawa pulang rejeki yang lebih dari sekadar modal untuk bertani.

Shana selalu mengenang pertemuannya dengan Pak Toha. Ia tak perlu lagi mendengar cerita motivasi kerja apa pun demi membuatnya bersemangat menjelang hari Senin.

Ia sudah mengalaminya sendiri. ****

 

*) Feature image: Alice Catherine



Leave a Comment

  • (will not be published)